Konstantinus Agung (Kaisar Romawi: 306-337 M)
Pada tahun 293 M, ketika Kaisar Diocletian menjadikan Constantius
kaisar atas Gaul dan Inggris, anak Constantius, Konstantinus, ditahan di
pengadilan Galerius, Kaisar Timur sebagai sandera. Pada tahun 305 M, ia
melepaskan diri dan bergabung dengan
ayahnya di Barat.
Ketika Diocletian mundur sebagai kaisar Romawi pada tahun yang sama,
Galerius, yang menggantikannya, memilih Maximian dan Severus sebagai
kaisar di bawahnya. Constantius memilih anaknya, Konstantinus, sebagai
kaisar di bawahnya. Meskipun Italia dan Afrika merupakan bagian dari
kekaisaran di Barat, Constantius menolak untuk memerintah di sana karena
kesulitan untuk mengatur mereka. Ia memilih untuk berkuasa hanya di
Prancis, Spanyol, dan Inggris. Jadi, Italia dan Afrika masuk di bawah
kekuasaan Maximian di Timur. Meskipun penganiayaan berlanjut di Timur
untuk beberapa saat, di Barat di bawah kekuasaan Constantius dan
Konstantinus penganiayaan itu sudah berhenti secara jelas.
Kedua orang itu antusias untuk menjaga hubungan yang baik dengan warga negara mereka, mendukung dan memperlakukan sernua sama.
Constantius seorang sipil, yang penuh perhatian, lemah lembut, lunak
dan memberi kebebasan, yang ingin melakukan kebaikan kepada sernua
orang yang berada di bawah kekuasaannya. Cyrus "Muda" (424? - 401 S.M.)
suatu kali berkata bahwa ia mendapat kekayaan bagi dirinya sendiri jika
ia membuat teman-temannya kaya, dan Constantius sering kali berkata
bahwa lebih baik bawahannya memiliki kekayaan bersama daripada
menimbunnya dalam gudang perbendaharaannya sendiri. Pada dasarnya ia
seorang yang puas dengan kehidupan yang sederhana, makan dan minum dari
peralatan yang terbuat dari tanah liat daripada dengan bahan-bahan yang
mewah. Akibat kebaikannya yang luar biasa, ada kedamaian dan ketenangan
di provinsi yang ia perintah.
Sebagai tambahan untuk sikap-sikap baiknya, dikatakan bahwa ia
mengasihi dan menghargai firman Allah; mengarahkan hidupnya dan
berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip firman Allah. Oleh karena itu, ia
tidak terlibat dalam perang yang bertentangan dengan kesalehan dan
doktrin Kristen; pun ia rnenolak untuk membantu para pemimpin lain yang
terlibat dalam perang yang tidak adil, ia menghentikan perusakan
gereja-gereja dan memerintahkan agar orang-orang Kristen dipelihara,
dilindungi dan diamankan dari semua luka-luka yang disebabkan oleh
penganiayaan. Namun, di bagian lain kekaisaran itu, penganiayaan masih
berlanjut tanpa berkurang hanya Constantius yang mengizinkan
orang-orang Kristen mempraktikkan iman mereka tanpa dihalangi.
Pada satu di antara kesempatan Constantius memutuskan untuk menguji
apakah anggota pengadilannya adalah orang Kristen yang baik dan tulus.
Ia memanggil semua pejabat dan pelayannya bersama-sama lalu memberi
tahu rnereka bahwa hanya orang-orang yang bersedia melakukan pengurbanan
kepada roh-roh jahat yang akan menyertainya dan tetap menduduki
jabatannya serta bahwa orang-orang yang menolak melakukannya akan
disingkirkan dan dibuang dari pengadilannya. Ketika mendengarnya, para
hadirin di sidangnya memisahkan diri mereka sendiri menjadi
kelompok-kelompok, yang darinya Kaisar memisahkan orang-orang yang ia
ketahui kuat imannya dan saleh.
Kaisar dengan tajam menegur orang-orang yang mau mempersembahkan
kurban; ia menyebut mereka pengkhianat terhadap Allah dan tidak layak
untuk menjadi anggota pengadilannya lalu memerintahkan agar mereka
dibuang. Ia memuji orang-orang yang menolak untuk mempersembahkan kurban
kepada roh-roh jahat dan mengakui Allah serta menyatakan bahwa mereka
sendiri yang layak untuk berada di hadapannya. Ia memerintahkan agar
mereka ditempatkan sebagai penasihat kepercayaannya dan pembela pribadi
dan kerajaannya. Ia berkata bahwa mereka bukan hanya layak berada di
kantornya, tetapi ia memandang mereka sebagai teman-temannya yang sejati
dan menghargai mereka lebih dari kekayaan harta bendanya.
Constantius meninggal pada tahun 306 M dan tentara mengelu-elukan
Konstantinus sebagai Kaisar. Banyak orang Kristen percaya bahwa
Konstantinus sebagai Musa kedua yang dikirimkan Allah untuk melepaskan
umat Nya dari pembuangan menuju kebebasan yang penuh sukacita.
Flavius Valerius Constantinus (Konstaninus) dilahirkan sekitar
tahun 280 M di kota Naissus di provinsi Moesia Romawi, sebuah wilayah
kuno di Eropa Tenggara yang belakangan disebut Serbia.
Constantius, ayahnya adalah anggota keluarga Romawi yang penting.
Helena, ibunya adalah anak perempuan pemilik losmen.
Sebelum tahun 312 M, Konstantinus tampak seperti seorang kafir yang
bersikap toleran yang bersedia mengumpulkan pe1indung surgawi untuk
menolongnya, tetapi tidak mengikatkan diri pada satu dewa apa pun. Namun
se1ama masa 312-324 M, ia mulai menerima Allah yang sejati dan
beberapa kali memberikan sumbangan kepada gereja dan penilik (uskup)
secara individual. Setelah kekalahan rival politiknya, Kaisar Lisinius,
di Chrysopolis pada 18 September 324, Konstantinus secara terbuka
mengaku sebagai orang Kristen.
Meskipun ia bersikap sebagai penguasa yang murah hati seperti
ayahnya, Konstantinus memerintah dengan kekuasaan yang absolut, menekan,
dan tirani. Dan meskipun ia memasukkan Uskup sebagai dewan
penasihatnya, dan hukum-hukumnya tentang perlakuan terhadap budak dan
tahanan menunjukkan pengaruh ajaran Kristen, ia menyuruh anak
laki-lakinya yang tertua, Crispus dan istrinya yang ke dua, Fausta,
dihukum mati. Seperti banyak orang selama zamannya, kehidupan dan
kelakuan Konstantinus merupakan campuran antara kekristenan dengan
kekafiran.
Tiga peristiwa penting menandai pemerintahan Konstantinus. Ia
merupakan kaisar Romawi Kristen pertama, ia membuat agama Kristen
sebagai agama resmi dan ia mendirikan kota Konstantinopel.
Konstantinopel menjadi ibukota Kekaisaran Romawi Timur dan menjadi
simbol kemenangan Kristen. Konstantinus mati pada tanggal 22 Mei 327.
Sebe1um kematiannya, ia membagi kekaisaran Romawi diantara ketiga
anaknya yang masih hidup.
Ketika Konstantinus pertama kali menjadi kaisar di Barat, ia
menghadapi banyak masalah dengan orang-orang lain yang juga merasa
berhak atas takhtanya. Maximian telah mundur sebagai kaisar dan anaknya,
Maxentius, dipilih menjadi kaisar Romawi oleh tentara. Oleh karena
Italia adalah wilayah kekaisaran Barat, ia juga merasa dirinya sebagai
kaisar yang paling tinggi di seluruh kekaisaran Romawi. Kekuasaan
militernya berlanjut selama pemerintahan Konstantinus. Senat Romawi
sangat takut terhadap Maxentius dan mereka ragu-ragu untuk melawannya.
Oleh karena desakan mereka, ayahnya, Maximian, yang sebelumnya menjadi
kaisar, mulai merancang cara agar ia bisa mengendalikan wilayah yang
jauh dari anaknya. Ia berusaha mengajak Diocletian untuk bergabung
dengannya dalam usaha untuk menggulingkan Maxentius, tetapi Diocletian
menolak untuk membantu. Para prajurit yang telah memilih Maxentius
menjadi kaisar tahu tentang rencana ayahnya untuk memberhentikannya dan
mengatakan kepada Maximian bahwa mereka tidak akan membiarkan gerakan
semacam itu.
Ketika
ia tidak bisa melakukan gerakan melawan Maxentius, Maximian
mengalihkan perhatiannya pada Prancis tempat Konstantinus memerintah. Ia
pergi menemui Konstantinus dan pura-pura mengeluh kepada Kaisar tentang
anaknya, tetapi maksudnya sebenarnya adalah untuk membunuh
Konstantinus, dan merebut kekaisaran Barat. Namun, Konstantinus telah
menikahi anak perempuan Maximian, Fausta; dan ketika ia menemukan
rencana ayahnya, ia menyampaikan berita itu kepada Konstantinus.
Maximian ditangkap ketika ia berusaha melarikan diri ke Perancis dan
dieksekusi.
Sementara itu, Maxentius memerintah di Roma dengan kejahatan yang
tidak bisa ditolerir. Ia bersikap seperti itu sehingga banyak orang
memandangnya sebagai Firaun atau Nero lainnya, karena ia menghukum mati
banyak orang terhormat dan merampas harta mereka. Sering kali ia
meledak-ledak kemarahannya dan memerintahkan kepada para prajuritnya
untuk membunuh sejumlah besar penduduk Romawi. Ia tidak membiarkan
tindakan yang ambisius dan dahsyat tanpa diperiksa. Ia juga keranjingan
seni sihir. Ia sering kali memanggil roh-roh jahat untuk membantu
kejahatannya dan mencari hikmat dari mereka sehingga ia bisa melawan
perang yang ia yakini dipersiapkan Konstantinus terhadapnya.
Maxentius juga pura-pura bersikap lunak terhadap orang-orang
Kristen. Berharap untuk membuat penduduk Romawi sebagai temannya, ia
memerintahkan mereka untuk tidak lagi menganiaya orang Kristen dan ia
sendiri menghentikan tuduhannya yang arogan terhadap mereka. Namun, hal
ini hanya berlangsung sesaat, dan ia sekali lagi menjadi penganiaya
secara terbuka.
Oleh karena bosan dengan pencurahan darah dan kekuasaan Maxentius
yang tirani, penduduk Romawi mengeluh kepada Konstantinus. Mereka
memohon dengan sangat kepadanya untuk turut campur melepaskan kota dan
negara mereka dari Maxentius. Konstantinus mendengarkan permohonan
mereka dan bersimpati pada mereka. Ia menulis surat kepada Maxentius dan
memohon kepadanya untuk menghentikan tindakannya yang jahat dan
kekejamannya. Namun suratnya tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena
itu ia mengumpulkan tentaranya di Inggris dan Perancis lalu bersiap
memasuki Roma pada tahun 313 M
Maxentius bersiap-siap menyambut kedatangan tentara Konstantinus.
Oleh karena ia tidak ingin bertemu Konstantinus di peperangan terbuka,
ia mendirikan garnisun yang bersembunyi di sepanjang jalan menuju kota
untuk menyergap pasukan Konstantinus secara tiba-tiba. Meskipun
mengalami banyak pertempuran kecil, Konstantinus memenangkan setiap
peperangan itu.
Konstantinus karena masih dikuasai oleh takhayul kafir, merasa
khawatir dengan kekuatan sihir yang ia duga dimiliki Maxentius dan
berusaha memikirkan jalan untuk mengalahkan sihirnya. Dikisahkan bahwa
ketika ia mendekat ke Roma, Konstantinus melihat ke atas berkali-kali ke
langit dan berharap untuk mendapatkan tanda pertolongan. Sekitar senja
hari pada suatu hari ia menatap ke langit selatan dan melihat cahaya
yang sangat terang dalam bentuk salib, dan di kayu itu ada tulisan: "In
hoc vince", yang berarti "Dengan ini mendapat kemenangan". Eusebius
Pamphilus, seorang petugas di tentara Konstantinus, berkata bahwa ia
sering kali mendengar Konstantinus menceritakan visinya tentang salib
itu dan bersumpah bahwa ia juga melihat tanda salib serta tulisan itu.
Banyak prajurit yang meneguhkan penglihatan Konstantinus juga.
Konstantinus tidak tahu apa arti penglihatan itu dan berkonsultasi
dengan banyak pasukannya tentangnya, tetapi tidak seorang pun yang
memiliki jawaban. Malam itu Kristus menampakkan diri kepadanya dalam
mimpi dengan memegang salib dan memberi tahu bahwa jika ia mau membuat
salib semacam itu dan membawa ke dalam pertempuran bersamanya ia akan
selalu menang.
Salib itu tidak diberikan kepada
Konstantinus sebagai simbol takhayul yang memiliki kuasa dalamnya untuk
memenangkan peperangan, melainkan sebagai pengingat terus-menerus
baginya dan tentaranya untuk mencari hikmat dan iman kepada Pribadi yang
nama-Nya akan mereka bela bagi kemuliaan-Nya; dan untuk menyebarkan
kerajaan-Nya.
Keesokan harinya, Konstantinus menyuruh membuat salib dari emas dan
batu berharga yang mereka bawa ke tempat pangkalannya. Dengan salib di
depan mereka dan pengharapan serta keyakinan yang diperbarui bersama
mereka, Konstantinus dan tentaranya bergegas menuju Roma.
Maxentius sekarang tahu bahwa ia harus menemui pasukan Konstantinus
dalam peperangan terbuka, jadi ia menggerakkan pasukannya ke lapangan di
seberang Sungai Tiber. Ia kemudian menghancurkan jembatan yang mereka
seberangi dan membuat jembatan lain yang terbuat dari kapal dayung dalam
berbagai ukuran yang mereka tutupi dengan papan dan balok sehingga
bangunan itu tampak seperti jembatan. Rencananya adalah untuk menjebak
pasukan Konstantinus agar berusaha menyeberang melalui jembatan tiruan
itu, kemudian menyerang mereka pada saat mereka jatuh ke bawah.
Ketika kedua pasukan terlibat peperangan, tentara Maxentius tidak
mampu menahan kekuatan yang baru ditemukan tentara yang berperang di
bawah panji-panji salib itu, dan ia dan tentaranya terdesak masuk ke
kota. Dalam ketergesaan mereka untuk melarikan diri dari kehebatan
serangan Konstantinus, mereka berusaha menyeberang jembatan yang mereka
buat untuk menjebak tentara Konstantinus dan mereka terperangkap
sendiri. Jembatan sementara itu jatuh, terguling, dan menjatuhkan banyak
tentara; Maxentius dan kudanya ke dalam sungai dan persenjataannya yang
berat menariknya ke bawah lalu membenamkannya. Seolah-olah kejadian
tentara Firaun yang terbenam di Laut Merah menjadi simbol nubuat tentang Maxentius dan tentaranya.
Seperti halnya umat Israel menderita dalam tawanan Mesir selama 400
tahun, orang-orang Kristen telah menderita penganiayaan di bawah tumit
kekaisaran Romawi selama 300 tahun. Darah anak domba telah menyelamatkan
orang Israel ketika malaikat maut berjalan melalui Mesir untuk
melepaskan mereka dari cengkeraman Firaun yang sekuat besi dan sekarang
Salib Anak Domba Allah telah memimpin tentara pembebasan ke dalam kubu
tirani Romawi yang terakhir dan membebaskan umat Allah. Hampir 1.600
tahun berlalu dan Tuhan yang sama mengawasi umat Nya.
Konstantinus menjadi kaisar atas seluruh kekaisaran Romawi, dan pada
tahun 324 ia memindahkan takhta pemerintahannya dari Romawi ke Timur.
Sebagai ibukotanya, ia memilih kota Yunani kuno Byzantium di Bosporus,
yang merupakan selat yang terbentang antara Laut Hitam, di sebelah utara
dan laut Marmara. Tempat itu menjadi rute perdagangan yang penting
sejak zaman kuno. Konstantinus memperbesar dan memperkaya kota itu
secara luar biasa. Pada tahun 330, ia menamainya sebagai "Roma Baru",
tetapi kota itu biasanya disebut Konstantinopel, "kota Konstantin."
Konstantinus adalah kaisar Kristen pertama dari kekaisaran Romawi
dan Konstantinopel menjadi ibukota kekristenan di Barat, tetapi Romawi
mendominasi kekristenan di Timur. Kekaisaran Romawi Timur yang didirikan
Konstantinus tetap bertahan sampai lebih dari seribu tahun dan selama
tahun-tahun itu orang-orang Kristen secara relatif hidup damai.
Meskipun tidak ada lagi penganiayaan yang umum dan sistematis
terhadap orang-orang Kristen, seperti yang terjadi di bawah kaisar-
kaisar Romawi, orang-orang Kristen masih menderita penganiayaan di
wilayah dunia yang terasing, seperti yang akan selalu mereka alami.
Seperti tulisan Rasul Paulus yang banyak mengalami kesusahan kepada
muridnya Timotius dari penjara di Roma tepat sebelum ia dipancung
kepalanya, "Setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (2 Timotius 3:12).
Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
Online Version : http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Atau di http://www.the-tribulation-network.com/ ... rs_toc.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar