Jumat, 11 Januari 2013

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (6)

Penganiayaan Terhadap John Wycliffe (1377-1384)

Image
John Wycliffe (?1330-1384)

John Wycliffe adalah penduduk asli Yorkshire, Inggris. Ia belajar di Universitas Oxford tempat ia mengambil jurusan utama dalam filsafat skolastik dan teologi; belakangan mengajar di sana dan menjadi terkenal sebagai teolog skolastik yang cerdas serta ahli debat yang paling dihormati pada zamannya. Pada 1374, ia memasuki pelayanan kerajaan dan dikirim ke Bruges, sebuah kota di Belgia barat laut, agar bernegosiasi dengan Wakil Paus tentang masalah pembayaran upeti kepada Roma, yang harus dibayar oleh semua kerajaan yang berafiliasi kepada Gereja Roma.

Untuk beberapa saat ia dikaitkan dengan John of Gaunt, Duke of Lancaster, dalam oposisinya terhadap pengaruh gereja atau imam dalam masalah politik. Selama waktu itu, Wycliffe menentang hak-hak yang diklaim oleh gereja dan mengimbau diadakan reformasi atas kekayaan, korupsi, dan penyelewengan gereja. Ia memandang raja sebagai penguasa yang sah untuk memurnikan gereja di Inggris. Pandangannya bertentangan keras dengan praktik dan pengajaran Gereja Roma. Oleh karena alasan inilah wali gereja, biarawan, dan imam bangkit meawan ia serta para pengikutnya, yang saat itu disebut Lollard [1].

Wycliffe adalah sarjana dan filosof Oxford yang terkenal. Bahkan orang-orang yang menjadi musuh doktrin-doktrinnya menyadari hal ini dan terkesan dengan argumennya yang kuat dan logis. Bertahun-tahun setelah kematian Wycliffe, satu dari mereka, seorang yang bernama Walden, menulis surat kepada Paus Martin V dan berkata, "Saya sangat kagum mendengar argumennya yang sangat kuat dengan sumber kuasa yang ia kumpulkan dan dengan intensitas emosional serta kekuatan logikanya."

Pengaruh Wycliffe sampai pada saat agama yang terorganisir rusak dan bejat akhlaknya. Orang-orang memberikan pelayanan hanya di mulut untuk hal-hal dari Tuhan, tetapi mereka menyangkal kuasa-Nya yang mempertobatkan dengan cara hidup mereka. Tradisi dan upacara buatan manusia sangat penting bagi banyak orang, tetapi hanya sedikit orang yang memiliki hubungan dengan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Itu merupakan masa kebutaan rohani. Oleh karena mereka tidak memiliki cara untuk mendapatkan pengetahuan langsung tentang Alkitab, kebanyakan orang dituntun masuk ke dalam wilayah kege1apan dan keraguan serta diajar oleh imam bahwa upacara dan praktik gereja akan menyelamatkan mereka.

Orang-orang Kristen awal dianiaya oleh orang dunia dan sering kali menjadi martir, tetapi John Wycliffe harus menghadapi penganiayaan dari orang-orang yang menyanjung nama Kristus yang kudus. Pejabat gereja sangat marah mendengar ajarannya. Mereka menentangnya dengan segala cara yang mungkin. Pertama, hanya biarawan dan rahib yang menentang Wycliffe. Kemudian mereka bergabung dengan imam, uskup, dan uskup agung. Seorang uskup agung, Simon Sudbury, memindahkan Wycliffe dari kedudukannya di Oxford. Akhirnya, Paus ikut ambil bagian menentang Wycliffe juga.

Selama beberapa saat, Wycliffe mampu menghindari kuasa Gereja Roma karena campur tangan dan perkenan yang ia peroleh dari John of Gaunt, Duke of Lancaster dan Lord Henry Percy, Earl of Northumberland pertama, yang dibunuh pada tanggal 20 Februari 1408, dalam pemberontakan me1awan Henry IV di Bramham Moor. Namun, akhirnya dukungan dari dua orang bangsawan ini terbukti tidak berbuah dan pada 1377 uskup-uskup berhasil menghasut Uskup Agung, Simon Sudbury agar mengambil tindakan melawan Wycliffe.

Sebelumnya Sudbury telah mencabut wewenang Wycliffe untuk mengajarkan "doktrinnya yang menyesatkan", dan sekarang ia memanggil Wycliffe untuk hadir di depan sidang uskup, Pemimpin sekuler yang mendukung Wycliffe menemukan empat biarawan yang bersedia mendukung Wycliffe di depan para uskup. Sidang itu dilaksanakan di Katedral St. Paul di London.

Para duke dan baron duduk bersama dengan Uskup Agung dan uskup-uskup di Kapel Our Lady. Wycliffe diminta untuk berdiri di depan mereka. Lord Percy menyuruh Wycliffe untuk duduk karena ia "memiliki banyak hal yang perlu dijawab" dan ia perlu duduk. Hal ini membuat marah Uskup London yang berkata bahwa Wycliffe harus tetap berdiri. Argumen sengit yang terjadi setelah itu berlangsung begitu lama, orang banyak menjadi gelisah, dan mulai menyuarakan ketidaksabaran mereka, terutama ketika argumen itu menyempit menjadi dua kubu yang saling mengancam kubu yang lain - kubu sekuler yang mengancam dengan tindakan sekuler terhadap imam dan kubu agama yang mengancam dengan tindakan rohani menentang kaum bangsawan. Argumen itu berakhir ketika Duke of Lancaster membisikkan penghinaan terhadap Uskup London ke orang yang berada di sebelahnya dengan cukup keras sehingga semua orang bisa mendengarnya. Hal ini menimbulkan kegaduhan dari banyak orang, yang berkata bahwa mereka tidak akan membiarkan Uskup mereka diperlakukan seperti itu sehingga rapat itu berakhir dengan saling cela dan cekcok lalu sidang dibubarkan sebelum pukul 9.00. Sidang itu tidak diadakan lagi.

Tidak lama setelah Richard II menggantikan kakeknya Edward III, menjadi raja Inggris pada 1377, Uskup Roma bergerak menentang Wycliffe lagi berdasarkan beberapa artikel yang mereka sarikan dari khotbahnya.

1. Roti Ekaristi Kudus, setelah penahbisan oleh imam, bukanlah tubuh Kristus yang aktual.
2. Gereja Roma bukanlah kepala seluruh gereja; demikian juga Petrus tidak memiliki kuasa yang lebih besar daripada yang diberikan oleh Kristus kepada rasul-rasul yang lain.
3. Pemimpin Gereja Roma tidak memiliki lebih banyak kunci gereja daripada yang lain dalam keimaman.
4. Injil pada dirinya sendiri sudah cukup untuk mengatur kehidupan setiap orang Kristen di bumi, tanpa peraturan lainnya.
5. Seperti memilih warna putih pada tembok gereja, semua peraturan yang dibuat untuk mengatur umat beragama tidak menambahkan kesempurnaan pada Injil Yesus Kristus.
6. Pemimpin Gereja Roma, maupun wali gereja lainnya, seharusnya tidak memiliki penjara untuk menghukum para pelanggar peraturan.


Wycliffe diperintahkan oleh uskup dan wali gereja untuk tidak berbicara serta mengajarkan doktrin-doktrinnya, tetapi ia justru menjadi lebih kuat dan lebih berani dalam tekadnya untuk mengajarkan kebenaran Alkitab. Ia terus menikmati dukungan banyak bangsawan dan berusaha sekali lagi untuk mengajarkan doktrinnya di antara rakyat jelata.

Pada tahun pertama pemerintahan Raja Richard II, Paus bereaksi dengan menerbitkan bulla [2] langsung ke Universitas Oxford dan menegur mereka dengan keras karena tidak "melarang doktrin Wycliffe" dan membiarkan doktrinnya diajarkan begitu lama sehingga bisa berakar. Pengawas mahasiswa dan master Universitas itu berunding apakah mereka akan menghormati bulla itu dengan menerimanya, atau menolak, dan menyangkalnya sebagai hal yang memalukan. Bulla itu menyatakan:

Seperti telah kita ketahui melalui banyak orang yang bisa dipercaya bahwa seorang John Wycliffe, rektor Lutterworth, di keuskupan London, profesor ilmu ketuhanan, telah melangkah sampai level kebodohan yang menjijikkan sehingga ia tidak takut mengajar dan berkhotbah di hadapan umum, atau lebih tepatnya memuntahkan isi perutnya yang kotor, dalil, dan kesimpulan tertentu yang salah pun menyesatkan, yang mengeluarkan kerusakan moral bidat, yang cenderung memperlemah dan menggulingkan status gereja secara keseluruhan, bahkan juga pemerintah sekuler.

Pendapatyang ia sebarkan di wilayah Inggris ini, negara yang begitu mulia dalam kekuatan yang berlimpah kekayaan dan yang kemurnian imannya bersinar, sejak dulu menghasilkan orang-orang termasyhur karena pengetahuan Alkitab mereka yang jelas dan sehat, matang dalam keseriusan tingkah laku, mencolok ibadahnya, dan pembela iman Gereja Roma yang berani. Beberapa dari kawanan domba Kristus ia cemari dengan doktrinnya dan ia sesatkan dari jalur iman murni yang lurus ke dalam lubang kebinasaan.

Oleh karena itu kita tidak bersedia mengabaikannya karena hal itu menyebab¬kan penyakit pes yang mematikan, kami dengan tegas memerintahkan agar dengan kuasa kami, kamu menangkap atau menyebabkan orang yang disebut John itu ditangkap dan mengirimnya dan dikawal orang yang bisa dipercaya ke saudara kita yang mulia, Uskup Agung Canterbury dan Uskup London, atau satu dari mereka.


Dua surat lain dari Paus menunjukkan perasaannya yang kuat yang menentang John Wycliffe. Satu surat itu menunjukkan bahwa Paus menghendaki Wyc1iffe muncul di hadapannya jika Uskup tidak mampu menye1esaikan kasus itu dalam waktu tiga bulan. Surat kedua ditujukan kepada Uskup Inggris dan mendesak mereka untuk memperingatkan penguasa sekuler, termasuk raja agar tidak menghormati doktrin Wycliffe. Kedua surat itu berfungsi untuk meneguhkan kasus menentang Wycliffe di antara para uskup dan mereka bertekad untuk membawa Wycliffe ke depan mereka untuk menerima keadilan yang mereka pandang sesuai untuknya karena kebidatannya.

Namun, ketika hari pemeriksaan Wycliffe tiba, seorang dari istana pangeran (Raja Richard II), yang bernama Lewis Clifford masuk ruangan tempat para uskup berada dan memerintahkan untuk tidak memproses pengadilan untuk John Wycliffe lebih lanjut. Kata-katanya begitu mengagetkan para uskup sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa berkata apa-apa. Jadi dengan demikian, oleh karya pemeliharaan Allah yang ajaib, John Wycliffe terlepas dari kemarahan para uskup untuk kedua kalinya.

Wycliffe sangat senang karena memiliki waktu lebih banyak untuk mengajar dan berkhotbah. Namun makin banyak ia melakukannya, para uskup dan para penguasa gereja lainnya menjadi makin marah. Kemudian pada Maret 13 78, Paus Gregorius XI, pemimpin yang banyak menimbulkan masalah bagi Wycliffe, mati secara tak terduga. Hal ini memulai terjadinya "Skisma Roma yang Besar" di gereja barat di Roma. Saat itu merupakan masa kekacauan dan kebingungan Roma yang terus berlangsung sampai Konsili Constance memilih Martin V sebagai paus pada 1417.

Pada waktu yang hampir sarna, selama sekitar 3 tahun, perpecahan yang hebat terjadi di Inggris antara rakyat jelata dengan bangsawan. Selama kesulitan itu. Simon of Sudbury, Uskup Agung Canterbury, diculik oleh beberapa orang yang lebih kejam dan dipenggal kepalanya. Ia digantikan oleh William Courtney sebagai wakil gereja, Paus yang tidak kalah kerajinannya dalam mengikis bidat.

Meskipun demikian, sekte Lollard Wycliffe terus bertumbuh makin besar kekuatan dan pengaruhnya di Inggris sampai William Berton, Rektor Universitas Oxford, memanggil delapan doktor biara bersama-sama [rahib] dan empat orang lainnya lalu mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa hukuman berat akan diberikan kepada siapa pun yang berhubungan dengan Wycliffe dan para pengikutnya. Berton mengancam Wycliffe sendiri dengan pengucilan dari gereja dan pemenjaraan. Keputusan itu memberi kesempatan tiga hari kepada Wycliffe dan para pengikutnya untuk ber tobat dari "penyelewengan dan ajaran mereka yang sesat."

Sebagai respons, Wycliffe berpikir untuk me1ewati paus dan para imam lalu membuat permohonan langsung kepada raja. Namun, Duke of Lancaster melarang ia untuk melakukannya dan berkata bahwa ia harus menundukkan dirinya sendiri pada kecaman dan hukuman Uskup dari keuskupan. Jadi, Wycliffe, yang dikelilingi masalah dan musuh, sekali lagi harus menyatakan doktrinnya secara terbuka di depan pejabat gereja.

Pada Hari St. Duncan pada 1382, sekitar pukul 2.00 siang hari, Uskup Agung Canterbury dan asistennya, beberapa doktor dalam ilmu ketuhanan, pengacara, profesor, dan imam lainnya berkumpul di Blackfriar di London untuk berkonsultasi satu dengan yang lain tentang buku-buku dan pengajaran Wycliffe. Pad a waktu itu, gempa bumi yang hebat terjadi di seluruh Inggris. Banyak orang yang hadir dalam pemeriksaan Wycliffe berkata bahwa itu adalah pertanda dan beberapa bahkan mengusulkan agar mereka membatalkan maksud mereka. Namun, Uskup Agung berkata bahwa mereka salah menafsirkan arti gempa bumi itu dan melanjutkan mendorong mereka untuk meneruskan misi mereka. Ia kemudian membacakan beberapa tulisan Wycliffe kepada kelompok itu dan dengan berani menyatakan bahwa doktrinnya jelas bidat sebab doktrin itu tidak segaris dengan tradisi dan pengajaran gereja. Bukan hanya pengajarannya yang menyesatkan, Uskup Agung menyatakan, tetapi mereka juga tidak beragama.

Oleh karena sejauh tertentu telah dilucuti oleh gempa bumi itu, para pemimpin tidak sepenuhnya bisa diyakinkan oleh Uskup Agung. Satu anggota melaporkan bahwa gejala alam yang sarna terjadi di gereja tertentu ketika percekcokan sebelumnya dengan Wycliffe terjadi. Ia berkata bahwa pintu gereja itu terbuka lebar karena sambaran kilat. Orang-orang yang berada di sana berusaha susah payah me1arikan diri dari api dari surga. Diskusi tentang Wycliffe dan ajarannya berlangsung selama beberapa jam.

Akibat pertemuan di Blackfriar, Uskup Agung Canterbury memberi mandat kepada Uskup London yang menentang John Wycliffe dan para pendukungnya:

Telah sampai pada pendengaran kita, bahwa meskipun, oleh hukum gereja, tidak seorang pun, yang sedang dilarang atau tidak diutus, bisa menempati posisi sebagai pengkhotbah, secara umum atau pribadi, tanpa otoritas kursi kerasulan atau uskup di tempat itu; namun meskipun demikian, orang-orang tertentu, yang adalah anak kebinasaan dengan bersembunyi di balik tirai kekudusan yang besar, dibawa pada satu di an tara kondisi pikiran bahwa mereka mengambil otoritas untuk diri mereka sendiri untuk berkhotbah, dan tidak takut untuk meneguhkan, lalu mengajar, secara umum seperti biasa dan terbuka berkhotbah di gereja-gereja dan di jalan-jalan, juga di banyak tempat umum lainnya di provinsi kita; tentang dalil dan kesimpulan tertentu yang bersifat bidat, salah, dan menyesatkan, serta dicela oleh gereja Allah yang menjijikkan bagi ketetapan gereja yang kudus; yang juga meracuni banyak orang Kristen yang baik; dan menyebabkan mereka secara menyedihkan menyeleweng dari iman Gereja Roma, yang tanpanya tidak ada keselamatan.

Oleh karena itu kami menegur dan memperingatkan bahwa tidak ada seorang pun, bagaimanapun keadaan dan kondisinya, boleh mengadakan, mengajar, berkhotbah atau membela bidat dan penyelewengan yang sudah disebutkan sebelumnya, atau apa pun darinya; ia juga jangan mendengar atau memerhatikan orang yang mengkhotbahkan kebidatan atau kesalahan yang dikatakan, atau satu pun darinya; dan jangan memberi perkenan atau dukungan kepadanya, entah secara umum atau pribadi; tetapi segera ia harus menjauhkan diri dan menghindar darinya, seperti ia menghindari ular yang menyemburkan bisa yang menular; di bawah penderitaan kutukan yang lebih besar.

Dan selain itu, kami memerintahkan saudara kami, mengenai pandangan yang mereka selidiki dengan teliti serta tekun; dan terus melawan hal yang sama dengan efektif.

Pada saat yang sama, Rektor baru Universitas Oxford adalah Master Robert Rygge, yang tampaknya mendukung John Wycliffe dan pengajaran Injil Yesus Kristus. Ia sering kali menahan gerakan tertentu yang menentang Wycliffe, oleh karena itu membantu memajukan Injil, yang pada saat itu berada dalam bahaya besar yang ditimbulkan oleh penguasa gereja. Selain itu, ketika khotbah perlu diberikan kepada orang-orang, ia mengutus imam yang ia ketahui sangat mendukung John Wycliffe. Dua dari mereka adalah John Huntman dan Walter Dish, yang secara terbuka menyetujui Wycliffe, pun menghargainya.

Belakangan pada tahun yang sarna (1382), Philip Reppyngdon dan Nicholas Hereford ditunjuk untuk berkhotbah kepada umat pada perayaan kenaikan Kristus ke surga dan Perayaan Corpus Christi. Mereka menyampaikan khotbah yang pro-Wycliffe di biara St. Fridewide [sekarang disebut gereja Kristus] di depan umat.

Hereford mengatakan bahwa Wycliffe adalah seorang yang setia, baik, dan tulus. Biarawan yang hadir merasa terkejut mendengar khotbahnya. Mereka berdiri untuk memprotes dengan keras dan vokal. Terutama ordo Carmelite gereja, yang dipimpin oleh Peter Stokes, yang ribut menentangnya.

Pada saat perayaan Corpus Christi mendekat, beberapa biarawan bertanya-tanya apakah Reppyngdon akan memberikan khotbah yang sarna dengan yang disampaikan Hereford. Mereka mengimbau kepada Uskup Canterbury untuk mencegah khotbah Reppyngdon. Peter Stokes, dari ordo Carmelite, ditunjuk untuk mencemarkan nama baik imam itu dan pengajaran Wycliffe secara terbuka, lalu Uskup Agung Canterbury menulis kepada Rektor Oxford dan mendesaknya untuk memikirkan ulang penunjukan Reppyngdon sebagai pengkhotbah di perayaan Corpus Christi.

Rektor makin berani menghadapi oposisi ini; ia menegur Uskup Agung dan Peter Stokes karena merongrong otoritas universitas serta mengacaukan keadaan yang damai. Ia menyatakan bahwa Uskup Agung tidak memiliki otoritas atas universitas dan universitas akan membuat keputusan sendiri mengenai masalah-masalah itu. Ia secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak akan membantu ordo Carmelite dengan cara apa pun.
Oleh karena itu Reppyngdon tetap maju dengan khotbahnya pada hari perayaan. Ia berkata, "Dalam semua masalah moral saya akan membela Master Wyc1iffe sebagai doktor gereja yang sejati." Ia juga memuji dukungan yang diberikan Duke of Lancaster pada gerakan Injil. Ia menyimpulkan khotbahnya dengan memuji pekerjaan dan pelayanan John Wycliffe.

Ketika khotbahnya selesai, Reppyngdon masuk ke Gereja St. Frideswide disertai dengan banyak temannya, yang seperti dipikirkan musuh-musuhnya, membawa senjata yang disembunyikan di bawah pakaian mereka kalau-kalau ada serangan terhadap Reppyngdon. Biarawan Stokes, dari ordo Carmelites, menyembunyikan dirinya sendiri di tempat suci gereja dan berpikir bahwa mereka akan menyerangnya sehingga ia tidak berani pergi sampai Reppyngdon dan teman-temannya pergi. Di seluruh universitas ada sukacita besar atas keberanian rektor mereka dan mereka dikuatkan oleh khotbah Reppyngdon yang jelas.

Setelah masa pembuangan yang singkat, Wycliffe bisa kembali ke jemaat Lutterworth tempat ia menjadi pendeta [imam jemaat]. Ia meninggal dengan tenang pada 31 Desember 1384 dalam usia 56 tahun. Dikatakan tentangnya: "hal yang sama menyukakannya pada masa tuanya seperti menyukakannya ketika ia masih muda."

Musuh terburuk Wycliffe adalah para anggota imam. Namun, ia juga menikrnati dukungan banyak rakyat jelata dan bangsawan, di antara mereka John Clenbon, Lewis Clifford, Richard Stury, Thomas Latimer, William Nevil, dan John Montague. Setelah kematian Wycliffe, orang-orang ini menyingkirkan patung dan ikon dari gereja mereka sebagai penghormatan terhadap doktrin-doktrin dan pengajarannya.

Oposisi terhadap Wycliffe dan ajarannya berlanjut selama bertahun-tahun setelah kematiannya. Pada 14 Mei 1415, Konsili Constance menyatakan: Konsili yang kudus ini menyatakan, memutuskan dan memberikan hukuman, bahwa John Wycliffe adalah bidat yang buruk dan ia mati dalam kebidatannya secara keras kepala. Konsili juga mengutuk orang yang seperti ia dan mengutuk orang yang mengenangnya. Konsili ini juga menyatakan dan memerintahkan agar tubuh serta tulangnya,jika itu bisa dibedakan dari tubuh orang yang setia lainnya, harus dike1uarkan dari tanah, dan dilemparkan jauh dari penguburan gereja mana pun, sesuai petunjuk peraturan dan hukum.

Tiga puluh satu tahun setelah kematian Wycliffe, Konsili Constance memindahkan jenazahnya dari tempat penguburan, membakarnya, dan melemparkan abunya ke dalam sungai. Pelaksana eksekusinya berpikir bahwa mereka akan mematikan pengaruhnya yang terus-menerus melalui tindakan semacam itu, tetapi tidak demikian halnya. Sama seperti yang dipikirkan orang Farisi ketika mereka membunuh Kristus dan menempatkan tubuh-Nya dalam kuburan yang gelap serta berpikir bahwa Dia telah lenyap untuk selama-lamanya, konsili yang menentang John Wycliffe itu berpikir bahwa tindakan simbolis mereka menggali kubur "bidat" itu dan melemparkan abunya akan membunuh ingatan akan ia di antara para pengikutnya. Namun, seperti yang dialami orang-orang Farisi dengan hati cemas, tidak ada satu pun yang bisa menghentikan Yesus Kristus dan tidak ada sesuatu pun yang bisa menghentikan kebenaran.

Meskipun mereka membakar tubuh Wycliffe dan melemparkan abunya ke dalam sungai, firman Allah dan kebenaran doktrin Wycliffe tidak bisa dihancurkan, dan orang-orang lain segera meneruskan pekerjaan yang sudah ia mulai.

-----
[1] Lollard, kata Inggris abad pertengahan, diambi dari kata Belanda abad pertengahan, Lollaerd, yang berarti berkomat-kamit, mengucapkan sesuatu terus menerus tanpa suara, bidat.
[2] Bull, dokumen resmi, seringkali merupakan keputusan, yang dikeluarkan oleh paus, dan dimateraikan dengan bulla.
Bulla, Meterai bulat yang dicapkan pada papan bull.

Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
Online Version : http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Atau di http://www.the-tribulation-network.com/ ... rs_toc.htm

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (5)

Penganiayaan oleh Paus & Inkuisisi (1208-1834)


Image

Penganiayaan oleh Paus

Sampai sekitar abad ke-12, sebagian besar penganiayaan terhadap orang-orangyang percaya kepada Kristus yang sejati datang dari dunia kafir, tetapi sekarang gereja di Roma membuang kebenaran Alkitab, perintah untuk mengasihi, dan mengambil pedang untuk melawan semua orang yang menentang doktrin dan tradisi palsu yang makin menjadi bagian darinya sejak zaman Konstantinus. Selama masa itu Gereja Roma menyimpangjauh dari kepercayaan ortodoks yang menyebabkan banyak orang menjadi martir. Gereja mulai menyingkirkan kekudusan, kesalehan, kerendahhatian, kemurahan, dan belas kasihan; mengambil tradisi dan doktrin yang secara material, fisik, serta sosial menguntungkan bagi para imam dan memberi mereka dominasi total dalam semua masalah gereja. Orang yang tidak setuju dengan mereka atau doktrin mereka dicap bidat yang harus dibawa masuk pada kesepakatan dengan Gereja Roma dengan kekuatan apa pun yang dibutuhkan; dan jika bidat itu tidak bertobat serta bersumpah setia kepada paus dan wakil gereja, mereka harus dihukum mati. Mereka membenarkan tindakan horor yang mereka lakukan dengan mengutip secara paksa ayat-ayat Perjanjian Lama dan dengan mengacu pada Augustinus, yang telah menafsirkan Lukas 14:23 sebagai ayat pendukung penggunaan kekuatan terhadap bidat. "Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk karena rumahku harus penuh. "

Selama beberapa abad Gereja Roma mengamuk di seluruh dunia seperti binatang buas yang kelaparan dan membunuh ribuan orang yang percaya kepada Kristus yang sejati, menyiksa, dan memotong tangan atau kaki ribuan orang lagi. Ini merupakan "Zaman Kegelapan" gereja. Kelompok Waldenses di Prancis merupakan korban pertama amukan penganiayaan Paus.

Image

Sekitar tahun 1000 M, ketika cahaya Injil yang sejati hampir padam oleh kegelapan dan takhayul, beberapa orang yang melihat dengan jelas bahaya besar yang sedang mengancam gereja, mengambil keputusan untuk menunjukkan cahaya Injil dalam kemurniannya yang nyata dan untuk menghalau awan-awan yang ditimbulkan oleh imam-imam yang penuh tipu daya untuk membutakan orang-orang dan menyembunyikan terangnya yang sejati. Usaha ini dimulai dengan seorang yang bernama Berengarius, yang dengan berani memberitakan Injil yang kudus, sejelas yang ditunjukkan dalam Alkitab. Sepanjang bertahun-tahun berikutnya orang-orang lain membawa obor kebenaran dan membawa terang kepada ribuan orang sampai pada tahun 1140 M, ada begitu banyak orang percaya yang mengalami reformasi sehingga Paus merasa khawatir dan menulis kepada banyak pangeran bahwa mereka harus menyingkirkan orang-orang itu dari kerajaan mereka. Ia juga menyuruh banyak pejabatnya yang berpendidikan paling tinggi untuk menulis surat menentang mereka.

Kelompok Waldenses

Sekitar tahun 1173, Peter Waldo, atau Valdes, seorang pedagang Lyon yang kaya, yang terkenal karena kesalehan dan pengetahuannya, memberikan hartanya kepada orang-orang miskin dan menjadi pengkhotbah keliling. Ia adalah penentang yang kuat terhadap kemakmuran dan penindasan paus. Tak berapa lama sejumlah besar orang yang telah mengalami pembaruan di Prancis bergabung dengannya - mereka kemudian dikenal sebagai kelompok Waldenses. Pertama -tama, Waldo berusaha menyadarkan paus karena ia berpikir bahwa paus bisa memengaruhi gereja di Roma, tetapi ia justru dikucilkan karena dianggap bidat pada 1184.

Waldo dan para pengikutnya kemudian mengembangkan gereja yang terpisah dengan imamnya sendiri. Mereka mengkhotbahkan disiplin keagamaan dan kemurnian moral, berbicara keras menentang imam yang tidak pantas dan penyelewengan di gereja, dan menolak pengambilan nyawa manusia dalam kondisi apa pun. Namun, Gereja Roma tidak mengizinkan bidat semacam itu untuk diajarkan maka pemisahan dari Roma tidak bisa dicegah lagi. Jadi pada 1208 M, Paus mengesahkan perang terhadap ke1ompok Waldenses dan kelompok reformed lainnya, terutama Albigenses.

Pada tahun 1211, delapan puluh pengikut Waldo ditangkap di kota Strasbourg, diperiksa oleh penyidik yang ditunjuk oleh Paus dan dibakar di tiang. Tidak lama sesudahnya, sebagian besar ke1ompok Waldenses menarik diri ke lembah Alpine di Italia utara dan tinggal di sana. Waldo meninggal tahun 1218; masih mengkhotbahkan Injil Kristus yang sejati.

Penganiayaan Kelompok Albigenses

Ke1ompok Albigenses adalah orang-orang yang menganut ajaran dualistis, yang tinggal di Prancis bagian se1atan pada abad ke-12 dan ke-13. Mereka mendapatkan nama itu dari kota Prancis, Albi, yang merupakan pusat gerakan mereka. Mereka tinggal dengan peraturan etika yang ketat dan banyak tokoh menonjol di an tara anggota mereka, seperti The Count of Toulouse, The Count of Foix, The Count of Beziers, dan yang lain yang memiliki pendidikan serta tingkat yang setara. Untuk menekan mereka, Roma pertama-tama mengirim biarawan Cistercian dan Dominikan ke wilayah mereka untuk meneguhkan kembali ajaran paus, tetapi tidak berguna karena ke1ompok Albigenses tetap setia dengan doktrin reformed.

Bahkan an cam an Konsili Lateran yang kedua, ketiga, dan keempat (1139,1179, 1215) - yang memutuskan pemenjaraan dan penyitaan harta benda sebagai hukuman atas bidat dan untuk mengucilkan para pangeran yang gagal menghukum penganut bidat - tidak menyebabkan ke1ompok Albigenses kembali ke pangkuan Roma. Dalam Konsili Lateran III, pada 1179, mereka dikutuk sebagai bidat oleh perintah Paus Alexander III. Ini adalah paus yang sama yang mengucilkan Frederick I, Kaisar Romawi yang Kudus, RajaJerman dan Italia, pada 1165. Kaisar se1anjutnya gagal menaklukkan otoritas paus di Italia dan dengan demikian mengakui supremasi paus pada tahun 1177.

Pada tahun 1209, Paus Innocentius III menggunakan pembunuhan biarawan di wilayah Pangeran Raymond dari Toulouse sebagai pembenaran untuk memulai pengobaran penganiayaan terhadap pangeran dan ke1ompok Albigenses. Pada Konsili Lateran IV, tahun 1215, kutukan terhadap ke1ompok ini disertai dengan tindakan keras. Untuk melaksanakannya, ia mengirim agen di seluruh Eropa untuk membangkitkan pasukan untuk bertindak bersama-sama melawan Albigenses dan menjanjikan surga kepada semua yang mau bergabung serta berperang se1ama 40 hari dalam hal yang ia sebut Perang Kudus.

Selama perang yang paling tidak kudus ini, yang berlangsung antara 1209 sampai 1229, Pangeran Raymond membela kota Toulouse serta tempat-tempat lainnya di wilayahnya dengan keberanian yang besar dan kesuksesan melawan tentara Simon de Montfort, Panger an Monfort dan bangsawan Gereja Roma yang fanatik. Ketika pasukan paus tidak mampu mengalahkan Pangeran Raymond seeara terbuka, raja dan ratu Praneis serta tiga Uskup Agung mengerahkan tentara yang lebih besar, dan dengan kekuatan militer mereka, mereka membujuk pangeran itu untuk datang ke konferensi perdamaian serta menjanjikan jaminan keamanan kepadanya. Namun ketika ia tiba, secara ia ditangkap, dan dipenjara, dan dipaksa untuk muncul dengan kepala telanjang dan kaki telanjang di depan musuh-musuhnya untuk menghinanya, dan dengan berbagai siksaan yang dilakukan untuk menangkal sikap oposisinya terhadap doktrin Paus.

Pada awal penganiayaan tahun 1209, Simon de Montfort membantai penduduk Beziers. Ini merupakan contoh kecil kekejaman yang ditimbulkan tentara paus terhadap Albigenses selama 20 tahun. Selama pembantaian itu, seorang prajurit bertanya bagaimana ia bisa membedakan antara orang Kristen dengan bidat. Pemimpinnya dikatakan menjawab, "Bunuh mereka semua. Allah tahu siapa milik-Nya."

Setelah penangkapan Pangeran Raymond, Paus menyatakan bahwa kaum awam tidak diperbolehkan untuk membaea Kitab Suci dan selama sisa abad ke-13 berikutnya, kelompok Albigenses bersama dengan Waldenses dan kelompok reformed lainnya, merupakan target utama Inkuisisi di seluruh Eropa.

Image

Inkuisisi

Inkuisisi adalah pengadilan Gereja abad pertengahan yang ditunjuk untuk mengusut bidat, yang disebut demikian karena menentang kesalahan dan tradisi Gereja Roma. Nama yang tidak terkenal ini digunakan dalam arti lembaga itu sendiri, yang adalah episkopal (diperintah oleh Uskup atau uskup-uskup) atau Paus, secara regional atau lokal; anggota pengadilan; dan cara kerja pengadilan.

Dalam perang melawan Albigenses, Paus Innocentius III menunjuk penyidik khusus seperti biarawan Dominikan, yang selama perang mendirikan ordo Dominikan, pada tahun 1215. Namun, masih belum ada kantor khusus untuklnkuisisi itu. Pada tahun 1231, Paus Gregorius IX seeara resmi mendirikan Inkuisisi Roma. Meniru hukum yang diberlakukan Kaisar Romawi yang Kudus Frederick II terhadap Lombardy, Italia, pada tahun 1224, dan diperluas mencakup seluruh kerajaannya pada 1232, Gregorius memerintahkan agar bidat yang sudah diputuskan bersalah ditangkap oleh penguasa sekuler, dan dibakar. Ia juga memerintahkan agar para bidat dikejar-kejar dan diperiksa di depan sidang gereja.

Paus Gregorius IX memercayakan tugas yang keji itu kepada ordo biarawan Dominikan dan Fransiskan; memberi mereka hak eksklusif untuk memimpin berbagai sidang pengadilan Inkuisisi, yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas sebagai hakim di tempatnya dan kuasa untuk mengucilkan, menyiksa atau mengeksekusi banyak orang yang dituduh melakukan kebidatan atau oposisi terhadap pemerintahan paus yang terkecil sekalipun. Ia lebih jauh memberi mereka otoritas untuk menyatakan perang terhadap orang yang diputuskan sebagai bidat dan melakukan kesepakatan dengan pangeran yang berkuasa serta menggabung tentara mereka dengan pasukan pangeran. Mereka juga diberi kuasa untuk bertindak terlepas dari petugas gereja lokal apa pun dan untuk melibatkan mereka dalam pemeriksaan Inkuisisi mereka jika mereka terlibat dengan pekerjaan mereka dalam cara apa pun. Secara alamiah, kekuasaan Inkuisisi yang independen ini sering kali menjadi penyebab perpecahan dengan imam dan uskup lokal.

Image

Dikatakan bahwa semangat mereka untuk mengeksekusi musuh-musuh Gereja Roma diilhami oleh isu yang beredar di seluruh Eropa bahwa Gregorius bermaksud untuk menyangkal kekristenan. Untuk menangkal isu itu, Gregorius memulai perang yang kejam terhadap musuh-musuh Roma, yang mencakup orang-orang Protestan, Yahudi, dan Muslim.

Setiap Inkuisisi terdiri dari sekitar 20 petugas: penyidik agung; tiga penyidik atau hakim utama; pengawas keuangan; petugas sipil; petugas untuk menerima dan mempertanggungjawabkan uang denda; petugas yang serupa untuk harta benda yang disita; beberapa orang penilai untuk menilai harta benda; sipir penjara; konselor untuk mewawancarai dan menasihati tertuduh; pelaksana hukuman untuk melakukan penyiksaan, penahanan, dan pembakaran; dokter untuk mengawasi siksaan; ahli bedah untuk memperbaiki kerusakan tubuh yang disebabkan oleh penyiksaan; petugas untuk mencatat pelaksanaan dan pengakuan dalam bahasa Latin; penjaga pintu; dan kenalan yang menyelinap masuk untuk mendapatkan kepercayaan orang-orang yang dicurigai bidat kemudian memberi kesaksian untuk menentang mereka. Setiap pengadilan juga memiliki saksi atau pemberi informasi yang menentang tertuduh, dan pengunjung istimewa, yang disumpah untuk menjaga rahasia prosedur serta pelaksanaan hukuman yang mereka saksikan.

Pertama Inkuisisi itu hanya menangani tuduhan tentang bidat, tetapi kekuasaannya segera meluas hingga mencakup tuduhan seperti tenung, alkimia, penghujatan, penyimpangan seksual, pembunuhan anak, pembacaan Alkitab dalam bahasa umum, atau pembacaan Talmud oleh bangsa Yahudi atau Alquran oleh orang-orang Muslim. [Pada saat tuduhan ten tang bidat menjadi kurang popular pada akhir abad ke-15, jumlah penyihir dan ahli tenung yang dibakar makin meningkat; hal ini membenarkan dan memperpanjang keberadaan Inkuisisi. ]

Tidak peduli apa pun tuduhannya, pelaksana Inkuisisi melakukan pemeriksaan mereka dengan kekejaman yang luar biasa, tanpa memiliki belas kasihan kepada siapa pun tidak peduli berapa usia, apa jenis kelamin, suku bangsa, keturunan bangsawan, posisi atau tingkat sosial yang istimewa, atau bagaimana kondisi fisik atau mental mereka. Dan mereka terutama bersikap kejam terhadap orang-orang yang menentang doktrin dan otoritas paus, terutama orang-orang yang sebelumnya adalah penganut Gereja Roma dan sekarang menjadi Protestan.

Ada sebagian tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic). Tentang upaya apologetik dalam soal Inquisisi itu, Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu hanya menambah kemunafikan menjadi kejahatan. (it merely added hypocricy to wickedness). Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah "wakil Kristus" (Vicar of Christ).

Peter de Rosa mencatat: How ever, the Inquisition was not only evil compared with the twentieth century, it was evil compared with the tenth and elevent when torture was outlawed andmen and women were guaranteed a fair trial. It was evil compared with the age of Diocletian, for no one was thentortured and killed in the name of Jesus crucified. (Betapa pun, inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11,saat dimana penyiksaan tidak disahkan dan laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair. Ini juga jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, dimana tidak seorang pun disiksa dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib). [1]

Pembelaan di depan Inkuisisi hampir tidak ada gunanya karena tuduhan yang dikenakan pada mereka sudah menjadi bukti yang cukup untuk menyatakan kesalahan, dan makin besar kekayaan tertuduh, makin besar bahaya yang ia tanggung. Sering kali seseorang dieksekusi bukan karena ia bidat, melainkan karena ia memiliki harta benda yang banyak. Sering kali tanah dan rumah yang luas atau bahkan provinsi atau wilayah kekuasaan dirampas oleh Gereja Roma atau oleh penguasa yang bekerja sarna dengan Inkuisisi dalam pekerjaan mereka.

Orang-orang yang dituduh oleh Inkuisisi tidak pernah diizinkan untuk mengetahui nama penuduh mereka dan dua orang pemberi informasi biasanya sudah cukup untuk memberikan tuduhan. Setiap metode pembujukan digunakan oleh pelaku Inkuisisi untuk membuat tertuduh mengakui tuduhan itu dan karena itu membuktikan tuduhan terhadap mereka, dan meyakinkan diri mereka sendiri. Untuk melakukannya, setiap cara penyiksaan fisik yang dikenal atau yang bisa dibayangkan digunakan - seperti merentangkan kaki tangan mereka pada alat perentang; membakar mereka dengan arang panas atau logam yang dipanaskan; mematahkan jari-jari tangan dan kaki; meremukkan kaki dan tangan; mencabut gigi; meremas daging dengan penjepit; menusukkan pengait ke bagian tubuh yang lunak dan menarik pengait itu menembus dagingnya; menyayat daging mereka menjadi potongan kecil-kecil; menancapkan jarum ke dalam daging; menancapkan jarum di bawah kuku jari tangan atau kaki; mengencangkan tali pengikat di sekeliling daging sampai menembus tulang; memukuli dengan tongkat dan pentung; memelintir kaki dan tangan serta melepaskan sendi mereka. Cara yang digunakan oleh para pelaksana Inkuisisi yang kejam terlalu banyak jumlahnya, dan terlalu mengerikan untuk dicatat.

Pada awal penyidikan, yang dicatat dalam bahasa Latin oleh petugas, orang yang dicurigai dan saksi harus bersumpah bahwa mereka akan menyingkapkan segala sesuatu. jika mereka tidak mau bersumpah, hal itu ditafsirkan sebagai tanda persetujuan dengan tuduhan. Jika mereka menyangkal tuduhan tanpa bukti bahwa mereka tidak bersalah, atau jika mereka dengan bandel menyangkal untuk mengakui, atau bertahan dalam kebidatan mereka; mereka akan diberi hukuman yang paling kejam, harta benda mereka disita dan, hampir tanpa perkecualian, mereka dihukum mati dengan cara dibakar. Sayang, beberapa oknum yang terlibat di dalamnya sangat licik. Oleh karena Gereja Roma berkata bahwa kita tidak diperbolehkan mencurahkan darah, jadi bidat yang bersalah diserahkan kepada penguasa sekuler yang menjalin kerja sama dengan mereka untuk dihukum dan dieksekusi.

Setelah Inkuisisi selesai menghakimi, upacara yang khidmat diadakan di tempat eksekusi; yang dikenal sebagai sermo generalis ("khotbah umum") atau, di Spanyol, sebagai auto-de-fe (tindakan iman), Acara itu dihadiri oleh pejabat lokal, para imam, dan semua, entah musuh atau ternan bidat itu, yang ingin melihat hukuman atau eksekusi. Jika bidat yang dikutuk mengakui tindakan.

bidat mereka, dan menyangkalnya, mereka akan diberi hukuman, yang berkisar dari hukuman cambuk yang berat atau dibuang ke kapal dagang. Dalam kasus mana pun, semua harta benda dan barang-barang mereka disita untuk digunakan oleh Gereja Roma atau oleh penguasa lokal.

Jika tertuduh terus-menerus berpaut pada kebidatan mereka, dengan sikap khidmat, mereka dikutuk dan diserahkan kepada pe1aksana hukuman untuk dibakar segera agar dilihat semua orang. Dengan pertunjukan kepada umum ini, para pejabat gereja berharap agar ketakutan terhadap Inkuisisi akan membara dalam pikiran dan hati orang-orang yang melihat nyala api membakar bidat yang menentang Gereja Roma. Namun, orang-orang yang memiliki iman yang sejati kepada Kristus sesungguhnya justru semakin teguh imannya ketika melihat keberanian para martir, dan kasih karunia Allah yang memelihara mereka melalui siksaan, dan nyala api.

Dari semua petugas Inkuisisi di seluruh dunia, Inkuisisi di Spanyol adalah yang paling aktif dan sadis; itu merupakan contoh dari bahaya yang luar biasa dari pemberian kekuasaan yang tak terbatas atas tubuh dan kehidupan orang-orang yang tidak kudus yang menyatakan diri kudus.

Image

Inkuisisi di Spanyol

Meskipun hampir tidak ada catatan tentang jumlah orang yang terbunuh atau disiksa di seluruh dunia oleh Inkuisisi, beberapa catatan tentang Inkuisisi di Spanyol telah sampai kepada kami.

Ada tujuh belas pengadilan di Spanyol dan masing-masing membakar rata-rata 10 bidat setahun serta menyiksa dan memotong kaki atau tangan ribuan orang lain yang hampir tidak bisa pulih dari luka-lukanya. Selama masa Inkuisisi di Spanyol diperkirakan ada sekitar 32.000 orang, yang kesalahannya tidak lebih dari tidak sepaham dengan doktrin paus, atau yang te1ah dituduh melakukan kejahatan takhayul, yang disiksa di luar imajinasi kemudian dibakar hidup-hidup.

Sebagai tambahan, jumlah orang yang gambarnya dibakar atau dihukum untuk menebus dosa, yang biasanya berarti pengasingan, penyitaan seluruh harta benda, hukuman fisik sampai pencucuran darah dan perusakan total segala sesuatu dalam hidup mereka, berjumlah total 339.000. Namun, tidak ada catatan tentang berapa banyak orang yang mati di tahanan bawah tanah karena disiksa; karena dikurung di lubang yang kotor, penuh penyakit, yang penuh tikus, dan kutu; karena tubuh yang hancur atau hati yang hancur; atau jutaan orang yang tergantung hidupnya pada mereka untuk kelangsungan hidup mereka atau yang tergesa-gesa ke liang kubur karena kematian korbannya. Itu adalah catatan yang hanya diketahui di surga pada Hari Penghakiman.

Pada tahun 1479 karena desakan penguasa Gereja Roma di Spanyol, Ferdinand II dari Aragon, dan Isabella I dari Castile, Paus Sixtus IV membentuk Inkuisisi Spanyol yang independen yang dipimpin oleh dewan tinggi dan pelaksana Inkuisisi Agung.

Pad a 1487 Paus Innocentius VIII menunjuk rahib Dominikan Spanyol, Tomas de Torquemada, sebagai pelaksana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaannya, ribuan orang Kristen, Yahudi, Muslim, penyihir yang dicurigai, dan orang-orang lainnya terbunuh dan disiksa. Orang-orang yang berada dalam bahaya terbesar karena Inkuisisi adalah kaum Protestan dan Alumbrados (penganut mistik di Spanyol).

Nama Torquemada menjadi sinonim dengan kekejaman, kefanatikan, sikap tidak toleran, dan kebencian. Ia adalah orang yang paling ditakuti di Spanyol; dan selama pemerintahan terornya dari 1487 sampai 1498l ia secara pribadi memerintahkan lebih dari 2.000 orang untuk dibakar di tiang. Ini berarti 181 orang setahun, sementara pengadilan Spanyol rata -rata hanya membakar 10 orang setahun.

Dengan dukungan penguasa Gereja Roma, pelaksana awal Inkuisisi Spanyol begitu sadis dalam cara penyiksaan dan teror mereka sehingga Paus Sixtus IV merasa ngeri mendengar laporan mereka, tetapi tidak mampu mengurangi kengerian yang telah dilepaskan di Spanyol. Ketika Torquemada dijadikan pe1aksana Inkuisisi Agung, akibatnya lebih parah dan ia melakukan Inkuisisi seolah-olah ia adalah dewa di Spanyol. Apa pun yang bisa ia kelompokkan sebagai pe1anggaran rohani diberi perhatian oleh pe1aksana Inkuisisi. Inkuisisi yang kejam di Spanyol belum mengenal kekejaman yang sebenarnya sampai Torquemada menjadi pemimpinnya.

Pada 1492 Inkuisisi digunakan untuk mengusir semua orang Yahudi dan bangsa Moors dari Spanyol atau untuk memaksakan pertobatan mereka kepada kekristenan Roma. Dengan desakan Torquemada, Ferdinand dan Isabella mengusir lebih dari 160.000 orang Yahudi yang tidak mau bertobat pada Gereja Roma.

Dari tujuan politis, pelaksana Inkuisisi juga melakukan penyelidikan yang kejam di antara penduduk baru dan orang-orang Indian yang bertobat di koloni Spanyol di Amerika.

Meskipun akhirnya ada penurunan dalam kekejamannya, Inkuisisi masih tetap bekerja dalam satu bentuk atau bentuk lainnya sampai awal abad ke-19 - 1834 di Spanyol, dan 1821 di Portugal - yaitu saat kelompok ini diganti namanya, tetapi tidak dihapuskan. Pada 1908, Inkuisisi direorganisir di bawah nama Congregation if the Holy Office dan didefinisikan ulang selama Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI sebagai Congregation of the Doctrine if the Faith. Pada saat ini dikatakan, kelompok ini memiliki tugas yang lebih positif, yaitu memajukan doktrin yang benar daripada sekadar "menyensor" bidat.

Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempatitu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila.

Pasukan Perancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut. [2]

Henry Charles Lea,seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History of theInquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inquisisi, sebagaimana misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan: "The inquisition is an institution for which the Church has no responsibility." (Inquisisi adalahsatu institusi dimana Gereja tidak memiliki tanggung jawab untuk itu). Ini adalah salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen Katolik Roma.

Lea menunjuk bukti sebagai contoh bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban inquisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum "heretics" (kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah bertentangan dengan semangat Kristus.Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.

Image Image

Image Image

Ada Film bagus yang mengkisahkan Inkuisisi di Spanyol, diambil dari catatan seorang pelukis Francisco Goya (March 30, 1746 – April 16, 1828) yang ingin menyelamatkan seorang gadis model lukisannya dari jeratan pengadilan/hukuman inkuisisi. Upaya ini tak berhasil karena wewenang mutlak yang diberikan Kerajaan Spanyol bagi 'Gereja'. Tuduhannya sepele saja karena didasarkan si gadis tidak memakan babi maka divonis gadis itu adalah pengikut Yudaisme, dalam penjara inkuisisi ia disiksa dengan kejam, mendapat perlakuan tak senonoh dari seorang rohaniawan sampai melahirkan anak, suatu hal yang ironis dimana Gereja menghalau segala macam "dosa" bidat/heresy tetapi mereka juga melakukan perbuatan asusila kepada pesakitannya.

Image

Film ini disutradarai oleh Milos Forman dan diproduseri oleh Saul Zaentz, 2 nama ini jaminan film-film berbobot, mereka menyajikan kisah pilu ini dengan baik sekali. Mungkin saja film ini akan membuat marah beberapa pihak, namun harus diakui bahwa memang sejarah mencatat, pernah ada kekejaman di kalangan Gereja. Ini terjadi ketika Gereja mendapat wewenang mutlak dan hak membunuh dan menyiksa atas orang-orang yang dianggap bidat dan diduga melawan doktrin-doktrin Gereja, akhirnya Gereja itu sendiri yang melakukan "penganiayaan" dan justru menjadi miskin kasih, suatu hal yang bertolak belakang dengan ajaran Kristus yang penuh kasih.

Image

Review Film ini, dapat Anda baca di http://portal.sarapanpagi.org/sosial-po ... agama.html
-----
[1], Peter deRosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 246-247.
[2], Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, hal. 239.
(Robert Held, dalam bukunya, "Inquisition", memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaandan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.)

Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (4)

Penganiayaan Selama Seribu Tahun Masa Damai (320-1079 M)

Oleh karena penganiayaan selama seribu tahun ini terpisah dan tersebar luas, kita hanya memiliki sedikit catatan tentang orang-orangyang menjadi martir bagi Kristus. Namun, masing-masing menceritakan kisah penderitaan dan kesengsaraan yang sama, dan pada akhirnya kematian karena kasih mereka kepada Tuhan dan iman kepada-Nya. Tentu saja Dia tetap menyertai mereka tidak peduli di mana pun mereka menderita, memberikan kekuatan dan kesabaran kepada mereka untuk bertahan sampai mereka masuk kemuliaan yang kekal, seperti halnya Dia bertahan dan sekarang menunggu semua orang yang mati dalam nama-Nya dengan tangan terbuka. Di bawah ini ada beberapa kisah dan tempat mereka meninggal.

Persia: Sekitar 320 M Banyak orang di Persia adalah penyembah dewa matahari dan ketika Injil mulai disebarkan ke negara itu, imam kafir mereka menjadi khawatir bahwa mereka akan kehilangan pengaruh yang telah mereka miliki atas kehidupan orang-orang. Jadi, mereka mengeluh kepada raja mereka, Sapores, bahwa orang-orang Kristen adalah musuh-musuh negara dan berkomunikasi dengan orang-orang Romawi, yang merupakan musuh Per¬sia yang dibenci. Hampir setiap perang dengan Romawi selalu berakhir dengan tragis bagi orang-orang Persia. Sapores segera memerintahkan agar orang-orang Kristen dianiaya di seluruh kekaisarannya. Jadi, banyak tokoh di gereja dan pemerintahan di Persia yang saleh segera ditangkap dan dibunuh sebagai martir.

Ketika Kaisar Konstantinus diberi tahu ten tang penganiayaan di Persia, ia me¬nulis surat kepada Sapores dan memberi tahu bahwa orang yang menganiaya orang-orang Kristen akan selalu mengalami tragedi dan orang-orang yang memperlakukan mereka dengan baik akan mengalami kesuksesan besar. Ia menceritakan kemenangan-kemenangannya sendiri atas pesaingnya sesama kaisar Romawi dan berkata, "Saya mengalahkan mereka dengan iman kepada Kristus semata, dan karena iman ini, Allah menolong saya dalam setiap peperangan dan membuat saya berkemenangan. Ia juga memperluas kekaisaran saya dari Laut Barat sampai bagian terjauh di Timur. Untuk mendapatkan semua ini, saya tidak pernah mempersembahkan kurban kepada ilah-ilah kuno atau menggunakan seni sihir apa pun. Saya hanya berdoa kepada Allah yang Mahatinggi dan mengikuti salib Kristus yang diberikan kepada saya sebagai panji saya. Perhatikan semua ini sebab saya akan bersukacita jika kamu juga berlimpah dalam kemuliaan karena kamu memperlakukan orang-orang Kristen dengan baik; dan kamu dan saya serta kamu dan mereka, bisa menikmati kedamaian yang langgeng."

Akibat imbauan Konstantinus, penganiayaan di Persia berakhir untuk sementara, tetapi diulangi bertahun-tahun sesudahnya ketika penguasa yang tidak bersimpati terhadap kekristenan menjadi raja di Persia.

Mesir: Sekitar 325-340 M Sekitar tahun 318 M, Arius, seorang imam Kristen di Alexandria, Mesir, menerbitkan doktrin yang menyatakan bahwa Yesus Kristus hanya ciptaan semata yang tidak ada dari kekekalan dan karena itu tidak sejajar dengan Allah. Untuk mengatasi doktrin ini, Konstantinus mengimbau diadakan Konsili Ekumenikal (dari kata Yunani 'oikumenos', keluarga Allah) di Nicaea. Konsili mengutuk Arius dan pengajarannya, yang sekarang disebutArianisme serta menyatakan kesetaraan yang sempurna antara Bapa dengan Anak; dan Bapa dan Anak terdiri dari "satu zat."

Meskipun sudah ada keputusan konsili, masalah Arianisme belum terselesaikan. Kaisar Konstantinus II, anak Konstantinus, mendukung Arianisme setelah kematian ayahnya, demikian juga Valens, satu di antara penerusnya, yang berbagi kekuasaan kekaisaran dengan saudaranya, Valentinian I, yang mengangkatnya menjadi kaisar di Timur. Dengan bertakhtanya Konstantinus II, kaum Arian meningkat kekuasaannya dan mulai menganiaya orang-orang Kristen Ortodoks; maksudnya, orang-orang Kristen yang berpegang pada iman ten tang keilahian Kristus. Athanasius, bapa Yunani dari Alexandria, yang adalah pembela ortodoksi Kristen terhadap Arianisme dan banyak Uskupnya dibuang dari Alexandria dan posisi mereka diisi oleh kaum Arian.

Komandan pasukan Romawi di Mesir, Artemius, yang mengaku sebagai seorang Kristen, dicopot jabatannya, kemudian harta miliknya kemudian kepalanya.

Romawi: 361 M Pada tahun 361 M, Konstantinus II mati, digantikan oleh Julian, yang memerintah sebagai kaisar Romawi selama dua tahun. Meskipun dibesarkan dalam iman Kristen, Kaisar Julian menyangkal kekristenan dan menyatakan bahwa ia seorang kafir, ia akan menghidupkan kembali agama Romawi. Ia tidak membuat keputusan publik menentang kekristenan, tetapi memulihkan penyembahan berhala dan memanggil kembali semua orang kafir yang diasingkan. Meskipun ia mengizinkan kebebasan praktik agama kepada siapa pun, ia melarang orang-orang Kristen memegangjabatan pemerintah atau militer dan mencabut kembali hak-hak yang diberikan Konstantinus kepada imam.

Uskup Arezzo di Italia, Donatus, pertapa, Hilarinus, dan hakim Romawi, Gordian disiksa dan dieksekusi.

Ancyra atau Ankara, Turki: 362 M Di kota bagian timur Ancyra, Uskup Basil dimasukkan ke dalam penjara karena menentang kekafiran dengan gigih. Ketika ia berada di penjara, Kaisar Julian datang ke Ancyra lalu menyuruh Basil diperhadapkan kepadanya, memutuskan bahwa ia akan memeriksa Basil sendiri. Selama pemeriksaan, Julian melakukan segala sesuatu yang bisa ia lakukan untuk meyakinkan uskup itu untuk menghentikan kegiatan menentang orang-orang kafir, tetapi Basil tidak menjadi lunak kemudian menubuatkan kematian Kaisar dan berkata bahwa ia akan disiksa dalam kekekalan. Julian menjadi marah ketika mendengar hal ini dan memerintahkan agar daging Basil dicabik setiap hari di tujuh temp at berbeda sampai kulit dan dagingnya tidak memiliki temp at yang tidak robek. Namun sebelum hal itu terjadi, Basil sudah mening¬gal karena luka-lukanya yang sangat parah. Hal itu terjadi pada 28 Juni 362.

Palestina: 363 M Tidak ada catatan yang tertinggal tentang orang-orang yang menjadi martir di Palestina. Kita hanya tahu secara umum bagaimana cara mereka menyerahkan hidup mereka kepada Kristus. Banyak orang yang dibakar hidup-hidup, beberapa orang diseret di jalan-jalan dalam keadaan telanjang sampai mereka mati karena kehilangan darah atau sakit yang hebat, yang lain direbus sampai mati atau dilempari batu dan banyak orang yang dipukuli kepalanya sampai otaknya keluar.

Alexandria: Sekitar 363 M Di Alexandria orang-orang Kristen yang menjadi martir begitu banyak jumlahnya sehingga sulit dihitung. Mereka dibunuh dengan pedang, dibakar, disalibkan, dan dilempari batu. Beberapa orang perutnya dibe1ah terbuka dan dimasuki butir-butir gandum. Babi-babi kemudian dilepaskan ke arah mereka supaya makan butir-butir gandum itu dan usus mereka. Berapa lama martir itu hidup selama penyiksaan tentu saja tergantung pada rasa lapar babi-babi itu.

Thrace: Sekitar 363 M Seorang Kristen bernama Emilianus dibakar di tiang dan seorang yang bernama Domitius, disembelih dengan pedang di gua tempat ia berusaha bersembunyi dari para penganiaya.

Kaisar Julian mati pada tahun 363 M karena luka-luka dalam peperangan di Persia, dan digantikan oleh Jovian, yang melaku¬kan perdamaian dengan Persia dengan memberikan semua wilayah Romawi di seberang Sungai Tigris. Jovian hanya memerintah selama satu tahun dan memulihkan kedamaian sementara kepada gereja. Pada tahun 364 M Valentian I menjadi kaisar Romawi di Barat dan memerintah bersama saudaranya Valens di Timur. Valens adalah penganut Arian dan sekali lagi gereja yang sejati mengalami penganiayaan. Valenti an I memerintah di Barat dari 364 sampai 375 dan Valens memerintah di Timur dari 364 sampai 378. Ia terbunuh pada tahun 378 M dalam peperangan me1awan Visigoth (Goth Timur) de kat kota Adrianople.

Dicatat bahwa banyak orang Goth adalah orang Kristen; kekristenan te1ah tersebar di antara mereka me1alui seorang Goth yang bertobat, seorang sarjana saleh bernama Ulfilas. Se1ama lebih dari 40 tahun ia bekerja, pertama-tama membuat abjad Gothik sehingga ia bisa menerjemahkan Alkitab kemudian mengajar umatnya iman kepada Kristus.

Alexandria: 386 M Kaisar memberi otoritas kepada George, Uskup Alexandria yang menganut Arianisme untuk menganiaya orang Kristen sejati di kota itu. Uskup mulai melakukannya dengan kekejaman yang luar biasa. Beberapa pemimpin pemerintahan, jenderal pasukan Mesir dan pejabat Romawi tingkat tinggi ikut membantunya.

Selama penganiayaan, imam ortodoks diusir dari Alexandria dan gereja-gereja mereka ditutup. Kedahsyatan hukuman yang dikenakan pada orang-orang Kristen sarna besarnya seperti hal yang dilakukan oleh orang-orang kafir, jika orang Kristen melarikan diri dari penganiayaan, se1uruh keluarganya dieksekusi dan harta bendanya dirampas.

Spanyol: 586 M Hermenigildus adalah anak laki -laki tertua Leovigildus, Raja Goth. Awalnya ia seorang Arian, tetapi kemudian bertobat pada iman ortodoks karena istrinya yang saleh, Ingonda. Ketika ayahnya mendengar ten tang pertobatannya, ia memindahkannya sebagai gubernur Seville di barat daya Spanyol dan mengancam untuk mengeksekusinya kecuali ia menyangkal imannya kepada Kristus.

Untuk mencegah eksekusinya, Hermenigildus mengumpulkan tentara orang-orang percaya ortodoks di seke1ilingnya, yang akan berperang baginya. Oleh karena pemberontakan Hermenigildus, raja memulai penganiayaan terhadap orang percaya yang sejati dan memimpin tentara yang kuat ke Seville. Hermenigildus pertama bersernbu¬nyi di Seville sendiri kemudian ketika peperangan bertambah hebat, ia me1arikan diri ke Asieta [kota yang tidak dikenal], tempat ia ditangkap sete1ah dikepung untuk sesaat.

Dikurung dalam kurungan dan dirantai, Hermenigildus dibawa kembali ke Seville yang pada perayaan Paskah ia menolak untuk menerima hosti komuni dari Uskup Arian dan dengan perintah dari ayahnya ia segera dicincang oleh penjaganya. Hal ini terjadi pada 13 April 586.

Lombardy (Italia): 683 M Uskup kota Bergamo di wilayah Lombardy, yang bernama John, menggabungkan pasu¬kannya dengan pasukan Uskup Milan untuk menghapuskan kesalahan Arianisme dari gereja. Mereka bersama-sama semakin sukses dalam me1awan bidat sampai john dibunuh pada 11 Juli 683.

Jerman: 689 M Kiffien, seorang Uskup Romawi yang saleh, yang berkhotbah kepada orang-orang kafir di Franconia, Jerman. Di Wurzburg ia mempertobatkan gubernur, Gozbert, yang kesaksiannya begitu saleh sehingga dalam selang waktu dua tahun hal itu mengilhami sebagian besar penduduk kota itu untuk bertobat. Pada 689 M, Kiffien meyakinkan gubernur bahwa pernikahannya dengan janda saudaranya adalah berdosa. Oleh karena itu janda itu menyuruh ia dipenggal kepalanya.

Spanyol: 850 M Lahir di Corduba, Spanyol, dan dibesarkan dalam iman Kristen, Perfectus menjadi orang yang sangat cerdas dan membaca semua buku yang bisa ia baca. Ia juga terkenal karena kesalehannya yang luar biasa. Ketika ia masih muda, ia ditetapkan sebagai imam dan me1akukan tugasnya dengan gaya yang sangat mengagumkan. Pada tahun 850 M, ia dengan terbuka menyatakan bahwa seorang nabi daerah Asia Barat Daya adalah penipu ulung. Oleh karena itu ia segera dipenggal kepalanya sebab sebagian besar Spanyol te1ah dikuasai pengikutnya sejak 711 M, setelah mereka mengalahkan orang Visigoth.

Persia: 997 M Uskup Prague, Adalbert makin terbeban untuk mempertobatkan orang kafir, jadi ia pergi ke Persia kemudian mempertobatkan dan membaptis banyak orang. Hal ini membuat imam-imam kafir sangat marah sehingga mereka menyerangnya dan membunuhnya dengan anak panah yang panjang.

Polandia: 1079 Bolislaus, yang adalah raja Polandia kedua, seorang yang ramah, tetapi memiliki hati yang kejam. Ia segera dikenal atas tindakannya yang sadis. Stanislus, Uskup Cracow di Sungai Vistula, dengan berani menceritakan kesalahan raja dalam percakapan pribadinya dengan sang raja dengan harapan bahwa ia dapat menghentikan kekejamannya terhadap rakyatnya. Meskipun dengan sukarela mengakui besarnya kejahatannya, Bolislaus menjadi marah karena Uskup itu berulang-ulang mencari kesempatan untuk menegurnya. Bolislaus tidak memiliki niat untuk berubah, ia justru berusaha mencari kesempatan untuk menyingkirkan Uskup yang setia kepada tugas-tugas Kristennya.

Suatu hari Bolislaus mendengar bahwa Uskup itu berada sendirian di gereja yang terdekat dan mengirim prajurit untuk membunuhnya. Mereka menemukan Uskup ini sendirian, tetapi mereka takiub melihat hadirat ilahi pada dirinya dan takut untuk membunuhnya. Ketika mereka melaporkannya kepada raja, ia sangat marah dan merenggut sebilah pisau dari satu prajuritnya, bergegas ke kapel; dan di sana menusuk Stanislus beberapa kali ketika orang yang baik itu berlutut di mezbah. Stanislus mati seketika.

Penganiayaan terhadap orang-orang Kristen terjadi secara tak teratur selama hampir seribu tahun, tetapi kemudian Iblis sekali lagi mengikatkan dirinya di Romawi dan mengirim para pekerjanya keluar dalam us aha sistematis lainnya untuk menghancurkan gereja. Hanya kali ini penganiayaan tidak datang dari orang-orang kafir, melainkan dari orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai orang Kristen dan yang tindakannya yang penuh kemarahan dan sadis terhadap orang-orang yang berpaut pada iman kepada Kristus, jauh lebih hebat daripada imajinasi orang-orang kafir yang paling liar.

Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
Online Version : http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Atau di http://www.the-tribulation-network.com/ ... rs_toc.htm

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (3)

Konstantinus Agung (Kaisar Romawi: 306-337 M)

Pada tahun 293 M, ketika Kaisar Diocletian menjadikan Constantius kaisar atas Gaul dan Inggris, anak Constantius, Konstantinus, ditahan di pengadilan Galerius, Kaisar Timur sebagai sandera. Pada tahun 305 M, ia melepaskan diri dan bergabung dengan
ayahnya di Barat.

Ketika Diocletian mundur sebagai kaisar Romawi pada tahun yang sama, Galerius, yang menggantikannya, memilih Maximian dan Severus sebagai kaisar di bawahnya. Constantius memilih anaknya, Konstantinus, sebagai kaisar di bawahnya. Meskipun Italia dan Afrika merupakan bagian dari kekaisaran di Barat, Constantius menolak untuk memerintah di sana karena kesulitan untuk mengatur mereka. Ia memilih untuk berkuasa hanya di Prancis, Spanyol, dan Inggris. Jadi, Italia dan Afrika masuk di bawah kekuasaan Maximian di Timur. Meskipun penganiayaan berlanjut di Timur untuk beberapa saat, di Barat di bawah kekuasaan Constantius dan Konstantinus penganiayaan itu sudah berhenti secara jelas.

Kedua orang itu antusias untuk menjaga hubungan yang baik dengan warga negara mereka, mendukung dan memperlakukan sernua sama.

Constantius seorang sipil, yang penuh perhatian, lemah lembut, lunak dan memberi kebebasan, yang ingin melakukan kebaikan kepada sernua orang yang berada di bawah kekuasaannya. Cyrus "Muda" (424? - 401 S.M.) suatu kali berkata bahwa ia mendapat kekayaan bagi dirinya sendiri jika ia membuat teman-temannya kaya, dan Constantius sering kali berkata bahwa lebih baik bawahannya memiliki kekayaan bersama daripada menimbunnya dalam gudang perbendaharaannya sendiri. Pada dasarnya ia seorang yang puas dengan kehidupan yang sederhana, makan dan minum dari peralatan yang terbuat dari tanah liat daripada dengan bahan-bahan yang mewah. Akibat kebaikannya yang luar biasa, ada kedamaian dan ketenangan di provinsi yang ia perintah.

Sebagai tambahan untuk sikap-sikap baiknya, dikatakan bahwa ia mengasihi dan menghargai firman Allah; mengarahkan hidupnya dan berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip firman Allah. Oleh karena itu, ia tidak terlibat dalam perang yang bertentangan dengan kesalehan dan doktrin Kristen; pun ia rnenolak untuk membantu para pemimpin lain yang terlibat dalam perang yang tidak adil, ia menghentikan perusakan gereja-gereja dan memerintahkan agar orang-orang Kristen dipelihara, dilindungi dan diamankan dari semua luka-luka yang disebabkan oleh penganiayaan. Namun, di bagian lain kekaisaran itu, penganiayaan masih berlanjut tanpa berkurang hanya Constantius yang mengizinkan orang-orang Kristen mempraktikkan iman mereka tanpa dihalangi.

Pada satu di antara kesempatan Constantius memutuskan untuk menguji apakah anggota pengadilannya adalah orang Kristen yang baik dan tulus. Ia memanggil semua pejabat dan pelayannya bersama-sama lalu memberi tahu rnereka bahwa hanya orang-orang yang bersedia melakukan pengurbanan kepada roh-roh jahat yang akan menyertainya dan tetap menduduki jabatannya serta bahwa orang-orang yang menolak melakukannya akan disingkirkan dan dibuang dari pengadilannya. Ketika mendengarnya, para hadirin di sidangnya memisahkan diri mereka sendiri menjadi kelompok-kelompok, yang darinya Kaisar memisahkan orang-orang yang ia ketahui kuat imannya dan saleh.

Kaisar dengan tajam menegur orang-orang yang mau mempersembahkan kurban; ia menyebut mereka pengkhianat terhadap Allah dan tidak layak untuk menjadi anggota pengadilannya lalu memerintahkan agar mereka dibuang. Ia memuji orang-orang yang menolak untuk mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat dan mengakui Allah serta menyatakan bahwa mereka sendiri yang layak untuk berada di hadapannya. Ia memerintahkan agar mereka ditempatkan sebagai penasihat kepercayaannya dan pembela pribadi dan kerajaannya. Ia berkata bahwa mereka bukan hanya layak berada di kantornya, tetapi ia memandang mereka sebagai teman-temannya yang sejati dan menghargai mereka lebih dari kekayaan harta bendanya.

Constantius meninggal pada tahun 306 M dan tentara mengelu-elukan Konstantinus sebagai Kaisar. Banyak orang Kristen percaya bahwa Konstantinus sebagai Musa kedua yang dikirimkan Allah untuk melepaskan umat Nya dari pembuangan menuju kebebasan yang penuh sukacita.

Flavius Valerius Constantinus (Konstaninus) dilahirkan sekitar tahun 280 M di kota Naissus di provinsi Moesia Romawi, sebuah wilayah kuno di Eropa Tenggara yang belakangan disebut Serbia.  Constantius, ayahnya adalah anggota keluarga Romawi yang penting.  Helena, ibunya adalah anak perempuan pemilik losmen.

Sebelum tahun 312 M, Konstantinus tampak seperti seorang kafir yang bersikap toleran yang bersedia mengumpulkan pe1indung surgawi untuk menolongnya, tetapi tidak mengikatkan diri pada satu dewa apa pun. Namun se1ama masa 312-324 M, ia mulai menerima Allah yang sejati dan beberapa kali memberikan sumbangan kepada gereja dan penilik (uskup) secara individual. Setelah kekalahan rival politiknya, Kaisar Lisinius, di Chrysopolis pada 18 September 324, Konstantinus secara terbuka mengaku sebagai orang Kristen.

Meskipun ia bersikap sebagai penguasa yang murah hati seperti ayahnya, Konstantinus memerintah dengan kekuasaan yang absolut, menekan, dan tirani. Dan meskipun ia memasukkan Uskup sebagai dewan penasihatnya, dan hukum-hukumnya tentang perlakuan terhadap budak dan tahanan menunjukkan pengaruh ajaran Kristen, ia menyuruh anak laki-lakinya yang tertua, Crispus dan istrinya yang ke dua, Fausta, dihukum mati. Seperti banyak orang selama zamannya, kehidupan dan kelakuan Konstantinus merupakan campuran antara kekristenan dengan kekafiran.

Tiga peristiwa penting menandai pemerintahan Konstantinus. Ia merupakan kaisar Romawi Kristen pertama, ia membuat agama Kristen sebagai agama resmi dan ia mendirikan kota Konstantinopel. Konstantinopel menjadi ibukota Kekaisaran Romawi Timur dan menjadi simbol kemenangan Kristen. Konstantinus mati pada tanggal 22 Mei 327. Sebe1um kematiannya, ia membagi kekaisaran Romawi diantara ketiga anaknya yang masih hidup.

Ketika Konstantinus pertama kali menjadi kaisar di Barat, ia menghadapi banyak masalah dengan orang-orang lain yang juga merasa berhak atas takhtanya. Maximian telah mundur sebagai kaisar dan anaknya, Maxentius, dipilih menjadi kaisar Romawi oleh tentara. Oleh karena Italia adalah wilayah kekaisaran Barat, ia juga merasa dirinya sebagai kaisar yang paling tinggi di seluruh kekaisaran Romawi. Kekuasaan militernya berlanjut selama pemerintahan Konstantinus. Senat Romawi sangat takut terhadap Maxentius dan mereka ragu-ragu untuk melawannya. Oleh karena desakan mereka, ayahnya, Maximian, yang sebelumnya menjadi kaisar, mulai merancang cara agar ia bisa mengendalikan wilayah yang jauh dari anaknya. Ia berusaha mengajak Diocletian untuk bergabung dengannya dalam usaha untuk menggulingkan Maxentius, tetapi Diocletian menolak untuk membantu. Para prajurit yang telah memilih Maxentius menjadi kaisar tahu tentang rencana ayahnya untuk memberhentikannya dan mengatakan kepada Maximian bahwa mereka tidak akan membiarkan gerakan semacam itu.

Ketika ia tidak bisa melakukan gerakan melawan Maxentius, Maximian mengalihkan perhatiannya pada Prancis tempat Konstantinus memerintah. Ia pergi menemui Konstantinus dan pura-pura mengeluh kepada Kaisar tentang anaknya, tetapi maksudnya sebenarnya adalah untuk membunuh Konstantinus, dan merebut kekaisaran Barat. Namun, Konstantinus telah menikahi anak perempuan Maximian, Fausta; dan ketika ia menemukan rencana ayahnya, ia menyampaikan berita itu kepada Konstantinus. Maximian ditangkap ketika ia berusaha melarikan diri ke Perancis dan dieksekusi.

Sementara itu, Maxentius memerintah di Roma dengan kejahatan yang tidak bisa ditolerir. Ia bersikap seperti itu sehingga banyak orang memandangnya sebagai Firaun atau Nero lainnya, karena ia menghukum mati banyak orang terhormat dan merampas harta mereka. Sering kali ia meledak-ledak kemarahannya dan memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh sejumlah besar penduduk Romawi. Ia tidak membiarkan tindakan yang ambisius dan dahsyat tanpa diperiksa. Ia juga keranjingan seni sihir. Ia sering kali memanggil roh-roh jahat untuk membantu kejahatannya dan mencari hikmat dari mereka sehingga ia bisa melawan perang yang ia yakini dipersiapkan Konstantinus terhadapnya.

Maxentius juga pura-pura bersikap lunak terhadap orang-orang Kristen. Berharap untuk membuat penduduk Romawi sebagai temannya, ia memerintahkan mereka untuk tidak lagi menganiaya orang Kristen dan ia sendiri menghentikan tuduhannya yang arogan terhadap mereka. Namun, hal ini hanya berlangsung sesaat, dan ia sekali lagi menjadi penganiaya secara terbuka.

Oleh karena bosan dengan pencurahan darah dan kekuasaan Maxentius yang tirani, penduduk Romawi mengeluh kepada Konstantinus. Mereka memohon dengan sangat kepadanya untuk turut campur melepaskan kota dan negara mereka dari Maxentius. Konstantinus mendengarkan permohonan mereka dan bersimpati pada mereka. Ia menulis surat kepada Maxentius dan memohon kepadanya untuk menghentikan tindakannya yang jahat dan kekejamannya. Namun suratnya tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu ia mengumpulkan tentaranya di Inggris dan Perancis lalu bersiap memasuki Roma pada tahun 313 M

Maxentius bersiap-siap menyambut kedatangan tentara Konstantinus. Oleh karena ia tidak ingin bertemu Konstantinus di peperangan terbuka, ia mendirikan garnisun yang bersembunyi di sepanjang jalan menuju kota untuk menyergap pasukan Konstantinus secara tiba-tiba. Meskipun mengalami banyak pertempuran kecil, Konstantinus memenangkan setiap peperangan itu.

Konstantinus karena masih dikuasai oleh takhayul kafir, merasa khawatir dengan kekuatan sihir yang ia duga dimiliki Maxentius dan berusaha memikirkan jalan untuk mengalahkan sihirnya. Dikisahkan bahwa ketika ia mendekat ke Roma, Konstantinus melihat ke atas berkali-kali ke langit dan berharap untuk mendapatkan tanda pertolongan. Sekitar senja hari pada suatu hari ia menatap ke langit selatan dan melihat cahaya yang sangat terang dalam bentuk salib, dan di kayu itu ada tulisan: "In hoc vince", yang berarti "Dengan ini mendapat kemenangan". Eusebius Pamphilus, seorang petugas di tentara Konstantinus, berkata bahwa ia sering kali mendengar Konstantinus menceritakan visinya tentang salib itu dan bersumpah bahwa ia juga melihat tanda salib serta tulisan itu. Banyak prajurit yang meneguhkan penglihatan Konstantinus juga.

Konstantinus tidak tahu apa arti penglihatan itu dan berkonsultasi dengan banyak pasukannya tentangnya, tetapi tidak seorang pun yang memiliki jawaban. Malam itu Kristus menampakkan diri kepadanya dalam mimpi dengan memegang salib dan memberi tahu bahwa jika ia mau membuat salib semacam itu dan membawa ke dalam pertempuran bersamanya ia akan selalu menang.

Salib itu tidak diberikan kepada Konstantinus sebagai simbol takhayul yang memiliki kuasa dalamnya untuk memenangkan peperangan, melainkan sebagai pengingat terus-menerus baginya dan tentaranya untuk mencari hikmat dan iman kepada Pribadi yang nama-Nya akan mereka bela bagi kemuliaan-Nya; dan untuk menyebarkan kerajaan-Nya.

Keesokan harinya, Konstantinus menyuruh membuat salib dari emas dan batu berharga yang mereka bawa ke tempat pangkalannya. Dengan salib di depan mereka dan pengharapan serta keyakinan yang diperbarui bersama mereka, Konstantinus dan tentaranya bergegas menuju Roma.

Maxentius sekarang tahu bahwa ia harus menemui pasukan Konstantinus dalam peperangan terbuka, jadi ia menggerakkan pasukannya ke lapangan di seberang Sungai Tiber. Ia kemudian menghancurkan jembatan yang mereka seberangi dan membuat jembatan lain yang terbuat dari kapal dayung dalam berbagai ukuran yang mereka tutupi dengan papan dan balok sehingga bangunan itu tampak seperti jembatan. Rencananya adalah untuk menjebak pasukan Konstantinus agar berusaha menyeberang melalui jembatan tiruan itu, kemudian menyerang mereka pada saat mereka jatuh ke bawah.

Ketika kedua pasukan terlibat peperangan, tentara Maxentius tidak mampu menahan kekuatan yang baru ditemukan tentara yang berperang di bawah panji-panji salib itu, dan ia dan tentaranya terdesak masuk ke kota. Dalam ketergesaan mereka untuk melarikan diri dari kehebatan serangan Konstantinus, mereka berusaha menyeberang jembatan yang mereka buat untuk menjebak tentara Konstantinus dan mereka terperangkap sendiri. Jembatan sementara itu jatuh, terguling, dan menjatuhkan banyak tentara; Maxentius dan kudanya ke dalam sungai dan persenjataannya yang berat menariknya ke bawah lalu membenamkannya. Seolah-olah kejadian tentara Firaun yang terbenam di Laut Merah menjadi simbol nubuat tentang Maxentius dan tentaranya.

Seperti halnya umat Israel menderita dalam tawanan Mesir selama 400 tahun, orang-orang Kristen telah menderita penganiayaan di bawah tumit kekaisaran Romawi selama 300 tahun. Darah anak domba telah menyelamatkan orang Israel ketika malaikat maut berjalan melalui Mesir untuk melepaskan mereka dari cengkeraman Firaun yang sekuat besi dan sekarang Salib Anak Domba Allah telah memimpin tentara pembebasan ke dalam kubu tirani Romawi yang terakhir dan membebaskan umat Allah. Hampir 1.600 tahun berlalu dan Tuhan yang sama mengawasi umat Nya.

Konstantinus menjadi kaisar atas seluruh kekaisaran Romawi, dan pada tahun 324 ia memindahkan takhta pemerintahannya dari Romawi ke Timur. Sebagai ibukotanya, ia memilih kota Yunani kuno Byzantium di Bosporus, yang merupakan selat yang terbentang antara Laut Hitam, di sebelah utara dan laut Marmara. Tempat itu menjadi rute perdagangan yang penting sejak zaman kuno. Konstantinus memperbesar dan memperkaya kota itu secara luar biasa. Pada tahun 330, ia menamainya sebagai "Roma Baru", tetapi kota itu biasanya disebut Konstantinopel, "kota Konstantin."

Konstantinus adalah kaisar Kristen pertama dari kekaisaran Romawi dan Konstantinopel menjadi ibukota kekristenan di Barat, tetapi Romawi mendominasi kekristenan di Timur. Kekaisaran Romawi Timur yang didirikan Konstantinus tetap bertahan sampai lebih dari seribu tahun dan selama tahun-tahun itu orang-orang Kristen secara relatif hidup damai.
Meskipun tidak ada lagi penganiayaan yang umum dan sistematis terhadap orang-orang Kristen, seperti yang terjadi di bawah kaisar- kaisar Romawi, orang-orang Kristen masih menderita penganiayaan di wilayah dunia yang terasing, seperti yang akan selalu mereka alami. Seperti tulisan Rasul Paulus yang banyak mengalami kesusahan kepada muridnya Timotius dari penjara di Roma tepat sebelum ia dipancung kepalanya, "Setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (2 Timotius 3:12).


Disalin dari :

John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
Online Version : http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Atau di http://www.the-tribulation-network.com/ ... rs_toc.htm