Senin, 04 Juni 2012

Yesus dari Nazaret



Dari informasi arsip surat yang diketemukan dan dapat kita baca sekarang, menjadi bukti bahwa Yesus dari Nazaret yang dipercayai oleh orang-orang Kristen sebagai Tuhan dan Juru Selamat dunia adalah benar-benar tokoh sejarah yang nyata. Pendapat yang mengatakan bahwa Yesus adalah tokoh rekaan menjadi pendapat yang ketahuan tidak berdasar argumen yang kuat, bahkan tidak berdasar sama sekali.
Dan orang yang mengikuti pendapat ini dapat disamakan dengan orang yang menghujat Roh Kudus

Sebab itu Aku berkata kepadamu: Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni. Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak. (Mat.12:31-32) 

Dari surat dibawah ini, dapat dimengerti mengapa Pilatus “tidak berani” menjatuhkan vonis hukuman mati atas Yesus.  

Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: "Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!"  (Mat. 27:24)                                             
--------------------------------------------------------------------------------------------

Introduction Overview Name History Procurator Personal Life Pilate and Jesus 
SURAT PONTIUS PILATUS 

Ternyata selama masa pemerintahannya sebagai Gubernur Yudea, Pontius Pilatus pernah menulis sebuah surat kepada Kaisar Tiberius di Roma melaporkan mengenai aktivitas dari pelayanan Yesus. Surat ini ditulisnya pada tahun 32 AD. Berikut adalah isi suratnya :
_______________________________________________________________________________________
                                                                                                        
                                                                                            Kepada Yang Mulia
                                                                                                             
                                                                                                      Kaisar Tiberius


Seorang anak muda telah muncul di Galilea dan atas nama Elohim yang mengutusnya, Dia telah berkhotbah dalam sebuah hukum yang baru, dengan perilaku yang rendah hati. Pada mulanya saya mengira tujuan-Nya adalah untuk menimbulkan gerakan revolusi rakyat untuk melawan pemerintahan Roma. Dugaan saya keliru, Yesus Orang Nazaret itu ternyata bergaul lebih akrab dengan orang Romawi daripada dengan orang Yahudi.

Suatu hari saya memperhatikan, ada seorang anak muda di antara sekelompok orang, sedang bersandar pada sebatang pohon dan berbicara dengan tenang kepada kumpulan orang banyak yang mengelilingi-Nya. Orang-orang mengatakan kepada saya bahwa itulah Yesus. Terdapat perbedaan yang jelas antara Dia dan orang-orang yang mengelilingi-Nya. Dari rambut dan janggutnya yang pirang, Ia kelihatan seperti “Tuhan” (Lord).

Ia berumur sekitar 30 tahun, dan saya belum pernah melihat orang dengan wajah sedemikian simpatik dan menyenangkan seperti Dia. Apa yang membuat Ia kelihatan begitu berbeda dengan orang-orang yang sedang mendengarkan-Nya adalah pada wajah-Nya yang ceria. Karena saya tidak ingin mengganggu-Nya, saya meneruskan perjalanan saya, tetapi saya menyuruh sekretaris saya untuk bergabung dengan mereka dan turut mendengarkan pengajaran-Nya.

Kemudian sekretaris saya melaporkan bahwa belum pernah ia membaca karya-karya ahli filsafat manapun yang dapat disejajarkan dengan ajaran Orang itu, dan bahwa Orang itu (Yesus) sama sekali tidak membawa orang ke jalan yang sesat, dan tidak pula menjadi penghasut. Oleh karena itulah kami memutuskan untuk membiarkan-Nya. Ia bebas untuk melakukan kegiatan-Nya berbicara dan mengumpulkan orang. Kebebasan yang tidak terbatas ini menggusarkan orang-orang Yahudi dan menimbulkan kemarahan mereka. Ia tidak menyusahkan orang miskin, tetapi merangsang kemarahan orang-orang kaya dan para tokoh masyarakat.

Kemudian saya menulis surat kepada Yesus, meminta Ia untuk diwawancarai dalam suatu pertemuan. Ia datang. Pada saat Orang Nazaret itu tiba, saya sedang melakukan jalan pagi. Dan ketika saya memperhatikan-Nya, saya begitu tertegun. Kedua kaki saya serasa dibelenggu oleh rantai besi yang terikat pada lantai batu pualam. Seluruh tubuh saya gemetar bagaikan seorang yang bersalah berat. Namun Ia tenang saja. Tanpa beranjak, saya begitu terpukau dengan orang yang luarbiasa ini beberapa saat. Tidak ada yang tidak menyenangkan pada penampilan atau perilaku-Nya.. Selama kehadiran-Nya saya menaruh hormat dan respek yang mendalam pada diri-Nya. Saya katakan kepada-Nya bahwa pada diri dan kepribadian-Nya terdapat sesuatu yang memancar dan menunjukkan kesederhanaan yang memukau, yang menempatkan Ia di atas para ahli filsafat dan cendekiawan masa kini. Ia meninggalkan kesan yang mendalam pada kami semua karena sikap-Nya yang simpatik, sederhana, rendah hati, dan penuh kasih. Saya telah meluangkan banyak waktu untuk mengamati aktivitas pelayanan menyangkut Yesus dari Nazaret ini.

Pendapat saya adalah : Seseorang yang mampu mengubah air menjadi anggur, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan menenangkan gelombang laut, tidak bersalah sebagai pelaku perbuatan kriminal sebagaimana dituduhkan oleh orang banyak. Kami harus mengakui bahwa sesungguhnya Ia adalah Putra Elohim.
                                                                                                   
                                                                                                         

                                                                                              Pelayan anda yang setia
                                                                                                   

                                                                                                                 
                                                                                                     Pontius Pilatus


________________________________________________________________________________________________ *Surat di atas tersimpan di Perpustakaan Kepausan di Vatikan, dan salinannya mungkin dapat diperoleh di Perpustakaan Kongres Amerika. (di copy-paste dari blog Didik Anantha) 




« on: February 18, 2010, 01:42:11 AM »
Pontius Pilot’s Letter To Ceasar On The Execution Of Jesus Christ

December 30, 2009 by massigusoni

Pontius Pilate’s Letter to Tiberius Caesar
(Pontius Pilate’s Letter to Tiberius Caesar verifying his sympathy for Jesus Christ and exposing the treachery of the Jews.)

From The Archko Volume, or The Archeological Writings of the Sanhedrin and Talmuds of the Jews, entered into the Congressional Record in the year 1887. Republished in 1975 by Keats Publishing Inc., 27 Pine Street, New Canaan Conn. 06840, USA.

To Noble Tiberius Caesar, Emperor of Rome.

Noble Sovereign, Greeting: The events of the last few days in my province have been of such a character that I will give the details in full as they occurred, as I should not be surprised if, in the course of time, they may change the destiny of our nation, for it seems of late that all the gods have ceased to be propitious. I am almost ready to say, Cursed be the day that I succeeded Vallerius Flaceus in the government of Judea; for since then my life has been one of continual uneasiness and distress.

On my arrival at Jerusalem I took possession of the praetorium, and ordered a splendid feast to be prepared, to which I invited the tetrarch of Galilee, with the high priest and his officers. At the appointed hour no guests appeared. This I considered an insult offered to my dignity, and to the whole government which I represent. A few days after, the high priest deigned to pay me a visit. His deportment was grave and deceitful. He pretended that his religion forbade him and his attendants to sit at the table with the Romans, and eat and offer libations with them, but this was only a sanctimonious seeming, for his very countenance betrayed his hypocrisy. Although I thought it expedient to accept his excuse, from that moment I was convinced that the conquered had declared themselves the enemy of the conquerors; and I would warn the Romans to beware of the high priests of this country. They would betray their own mother to gain office and a luxurious living.

It seems to me that, of conquered cities, Jerusalem is the most difficult to govern. So turbulent are the people that I live in momentary dread of an insurrection. I have not soldiers sufficient to suppress it. I had only one centurion and a hundred men at my command. I requested a reinforcement from the prefect of Syria, who informed me that he had scarcely enough troops sufficient to defend his own province. An insatiate thirst for conquest to extend our empire beyond the means of defending it, I fear, will be the cause of the final overthrow of our whole government. I lived secluded from the masses, for I did not know what those priests might influence the rabble to do; yet I endeavored to ascertain, as far as I could, the mind and standing of the people.

Among the various rumors that came to my ears, there was one in particular that attracted my attention. A young man, it was said, had appeared in Galilee, preaching with a noble unction a new law in the name of the God that had sent him. At first I was apprehensive that his design was to stir up the people against the Romans, but my fears were soon dispelled. Jesus of Nazareth spoke rather as friend of the Romans than of the Jews.

One day in passing by the place of Siloe, where there was a great concourse of people, I observed in the midst of the group a young man who was leaning against a tree, calmly addressing the multitude. I was told it was Jesus. This I could easily have suspected, so great was the difference between him and those listening to him. His golden-colored hair and beard gave to his appearance a celestial aspect. He appeared to be about thirty years of age. Never have I seen a sweeter or more serene countenance. What a contrast between him and his hearers, with their black beards and tawny complexions!

Unwilling to interrupt him by my presence, I continued my walk, but signified to my secretary to join the group and listen. My secretary’s name is Manlius. He is the grandson of the chief of the conspirators who encamped in Etruria waiting for Cataline. Manlius had been for a long time an inhabitant of Judea, and is well acquainted with the Hebrew language. He was devoted to me, and worthy of my confidence. On entering the praetorium I found Manlius, who related to me the words Jesus had pronounced at Siloe. Never have I read in the works of the philosophers anything that can compare to the maxims of Jesus. One of the rebellious Jews, so numerous in Jerusalem, having asked Jesus if it was lawful to give tribute to Caesar, he replied, “Render unto Caesar the things that belong to Caesar, and unto God the things that are God’s.”

It was on account of the wisdom of his sayings that I granted so much liberty to the Nazarene; for it was in my power to have had him arrested, and exiled to Pontus; but that would have been contrary to the justice which has always characterized the Roman government in all its dealings with men; this man was neither seditious nor rebellious; I extended to him my protection, unknown perhaps to himself. He was at liberty to act, to speak, to assemble and address the people, and to choose disciples, unrestrained by any praetorian mandate. Should it ever happen (may the gods avert the omen!), should it ever happen, I say, that the religion of our forefathers will be supplanted by the religion of Jesus, it will be to this noble toleration that Rome shall owe her premature death, while I, miserable wretch, will have been the instrument of what the Jews call Providence, and we call destiny.

This unlimited freedom granted to Jesus provoked the Jews–not the poor, but the rich and powerful. It is true, Jesus was severe on the latter, and this was a political reason, in my opinion, for not restraining the liberty of the Nazarene. “Scribes and Pharisees,” he would say to them, “you are a race of vipers; you resemble painted sepulchres; you appear well unto men, but you have death within you.” At other times he would sneer at the alms of the rich and proud, telling them that the mite of the poor was more precious in the sight of God. Complaints were daily made at the praetorium against the insolence of Jesus.

I was informed that some misfortune would befall him; that it would not be the first time that Jerusalem had stoned those who called themselves prophets; an appeal would be made to Caesar. However, my conduct was approved by the Senate, and I was promised a reinforcement after the termination of the Parthian war.

Being too weak to suppress an insurrection, I resolved upon adopting a measure that promised to restore the tranquility of the city without subjecting the praetorium to humiliating concession. I wrote to Jesus, requesting an interview with him at the praetorium. He came. You know that in my veins flows the Spanish mixed with Roman blood–as incapable of fear as it is of weak emotion. When the Nazarene made his appearance, I was walking in my basilic, and my feet seemed fastened with an iron hand to the marble pavement, and I trembled in every limb as does a guilty culprit, though the Nazarene was as calm as innocence itself.

When he came up to me, he stopped, and by a signal sign he seemed to say to me, “I am here,” though he spoke not a word. For some time I contemplated with admiration and awe this extraordinary type of man–a type of man unknown to our numerous painters, who have given form and figure to all the gods and the heroes. There was nothing about him that was repelling in its character, yet I felt too awed and tremulous to approach him.

“Jesus,” said I unto him at last–and my tongue faltered–”Jesus of Nazareth, for the last three years I have granted you ample freedom of speech; nor do I regret it. Your words are those of a sage. I know not whether you have read Socrates or Plato, but this I know, there is in your discourses a majestic simplicity that elevates you far above those philosophers. The Emperor is informed of it, and I, his humble representative in this country, am glad of having allowed you that liberty of which you are so worthy. However, I must not conceal from you that your discourses have raised up against you powerful and inveterate enemies.

“Nor is this surprising. Socrates had his enemies, and he fell a victim to their hatred. Yours are doubly incensed–against you on account of your discourses being so severe upon their conduct; against me on account of the liberty I have afforded you. They even accuse me of being indirectly leagued with you for the purpose of depriving the Hebrews of the little civil power, which Rome has left them. My request–I do not say my order–is, that you be more circumspect and moderate in your discourses in the future, and more considerate of them, lest you arouse the pride of your enemies, and they raise against you the stupid populace, and compel me to employ the instruments of law.”

The Nazarene calmly replied, “Prince of the earth, your words proceed not from true wisdom. Say to the torrent to stop in the midst of the mountain-gorge; it will uproot the trees of the valley. The torrent will answer you that it obeys the laws of nature and the creator. God alone knows whither flow the waters of the torrent. Verily I say unto you, before the rose of Sharon blossoms, the blood of the Just shall be spilt.”

“Your blood shall not be spilt,” said I with deep emotion; “you are more precious in my estimation on account of your wisdom than all the turbulent and proud Pharisees who abuse the freedom granted them by the Romans. They conspire against Caesar, and convert his bounty into fear, impressing the unlearned that Caesar is a tyrant and seeks their ruin. Insolent wretches! They are not aware that the wolf of the Tiber sometimes clothes himself with the skin of the sheep to accomplish his wicked designs. I will protect you against them. My praetorium shall be an asylum, sacred both day and night.”

Jesus carelessly shook his head, and said with a grave and divine smile: “When the day shall have come, there will be no asylums for the son of man, neither in the earth nor under the earth. The asylum of the just is there,” pointing to the heavens. “That which is written in the books of the prophets must be accomplished.”

“Young man,” I answered mildly, “you will oblige me to convert my request into an order. The safety of the province, which has been confided to my care, requires it. You must observe more moderation in your discourses. Do not infringe my order. You know the consequences. May happiness attend you; farewell.”

“Prince of the earth,” replied Jesus, “I come not to bring war into the world, but peace, love, and charity. I was born the same day on which Augustus gave peace to the Roman world. Persecutions proceed not from me. I expect it from others, and will meet it in obedience to the will of my Father, who has shown me the way. Restrain, therefore, your worldly prudence. It is not in your power to arrest the victim at the foot of the tabernacle of expiation.”

So saying, he disappeared like a bright shadow behind the curtain of the basilic–to my great relief, for I felt a heavy burden on me, of which I could not relieve myself while in his presence.

To Herod, who then reigned in Galilee, the enemies of Jesus addressed themselves, to wreak their vengeance on the Nazarene. Had Herod consulted his own inclinations, he would have ordered Jesus immediately to be put to death; but, though proud of his royal dignity, yet he hesitated to commit an act that might lessen his influence with the Senate, or, like me, was afraid of Jesus. But it would never do for a Roman officer to be scared by a Jew. Previously to this, Herod called on me at the praetorium, and, on rising to take leave, after some trifling conversation, asked me what was my opinion concerning the Nazarene. I replied that Jesus appeared to me to be one of those great philosophers that great nations sometimes produced; that his doctrines were by no means sacrilegious, and that the intentions of Rome were to leave him to that freedom of speech which was justified by his actions. Herod smiled maliciously, and, saluting me with ironical respect, departed.

The great feast of the Jews was approaching, and the intention was to avail themselves of the popular exultation which always manifests itself at the solemnities of a Passover. The city was overflowing with a tumultuous populace, clamoring for the death of the Nazarene. My emissaries informed me that the treasure of the temple had been employed in bribing the people. The danger was pressing. A Roman centurion had been insulted. I wrote to the Prefect of Syria for a hundred foot-soldiers and as many cavalry. He declined. I saw myself alone with a handful of veterans in the midst of a rebellious city, too weak to suppress an uprising, and having no choice left but to tolerate it. They had seized upon Jesus, and the seditious rabble, although they had nothing to fear from the praetorium, believing, as their leaders had told them, that I winked at their sedition–continued vociferating: “Crucify Him! Crucify Him!”

Three powerful parties had combined together at the time against Jesus: First, the Herodians and the Sadducees, whose seditious conduct seemed to have proceeded from double motives: they hated the Nazarene and were impatient of the Roman yoke. They never forgave me for having entered the holy city with banners that bore the image of the Roman emperor; and although in this instance I had committed a fatal error, yet the sacrilege did not appear less heinous in their eyes. Another grievance also rankled in their bosoms. I had proposed to employ a part of the treasure of the temple in erecting edifices for public use. My proposal was scorned.

The Pharisees were the avowed enemies of Jesus. They cared not for the government. They bore with bitterness the severe reprimands which the Nazarene for three years had been continually giving them wherever he went. Timid and too weak to act by themselves, they had embraced the quarrels of the Herodians and the Sadducees. Besides these three parties, I had to contend against the reckless and profligate populace, always ready to join a sedition, and to profit by the disorder and confusion that resulted therefrom.

Jesus was dragged before the High Priest and condemned to death. It was then that the High Priest, Caiaphas, performed a divisory act of submission. He sent his prisoner to me to confirm his condemnation and secure his execution. I answered him that, as Jesus was a Galilean, the affair came under Herod’s jurisdiction, and ordered him to be sent thither. The wily tetrarch professed humility, and, protesting his deference to the lieutenant of Caesar, he committed the fate of the man to my hands. Soon my palace assumed the aspect of a besieged citadel. Every moment increased the number of the malcontents. Jerusalem was inundated with crowds from the mountains of Nazareth. All Judea appeared to be pouring into the city.

I had taken a wife from among the Gauls, who pretended to see into futurity. Weeping and throwing herself at my feet, she said to me: “Beware, beware, and touch not that man; for he is holy. Last night I saw him in a vision. He was walking on the waters; he was flying on the wings of the wind. He spoke to the tempest and to the fishes of the lake; all were obedient to him. Behold, the torrent in Mount Kedron flows with blood, the statues of Caesar are filled with gemonide; the columns of the interium have given way; and the sun is veiled in mourning like a vestal in the tomb. Ah! Pilate, evil awaits thee. If thou wilt not listen to the vows of thy wife, dread the curse of a Roman Senate; dread the frowns of Caesar.”

By this time the marble stair groaned under the weight of the multitude. The Nazarene was brought back to me. I proceeded to the halls of justice, followed by my guard, and asked the people in a severe tone what they demanded.

“The death of the Nazarene,” was the reply.

“For what crime?”

“He has blasphemed; he has prophesied the ruin of the temple; he calls himself the Son of God, the Messiah, the King of the Jews.”

“Roman justice,” said I, “punishes not such offences with death.”

“Crucify him! Crucify him!” cried the relentless rabble. The vociferations of the infuriated mob shook the palace to its foundations.

There was but one who appeared to be calm in the midst of the vast multitude; it was the Nazarene. After many fruitless attempts to protect him from the fury of his merciless persecutors, I adopted a measure which at the moment appeared to me to be the only one that could save his life. I proposed, as it was their custom to deliver a prisoner on such occasions, to release Jesus and let him go free, that he might be the scapegoat, as they called it; but they said Jesus must be crucified.

I then spoke to them of the inconsistency of their course as being incompatible with their laws, showing that no criminal judge could pass sentence on a criminal unless he had fasted one whole day; and that the sentence must have the consent of the Sanhedrin, and the signature of the president of that court; that no criminal could be executed on the same day his sentence was fixed, and the next day, on the day of his execution, the Sanhedrin was required to review the whole proceeding; also, according to their law, a man was stationed a short way off on horseback to cry the name of the criminal and his crime, and the names of his witnesses, and to know if any one could testify in his favor; and the prisoner on his way to execution had the right to turn back three times and to plead any new thing in his favor. I urged all these pleas, hoping they might awe them into subjection; but they still cried, “Crucify him! Crucify him!”

I then ordered Jesus to be scourged, hoping this might satisfy them; but it only increased their fury. I then called for a basin, and washed my hands in the presence of the clamorous multitude, thus testifying that in my judgment Jesus of Nazareth had done nothing deserving of death; but in vain. It was his life these wretches thirsted for.

Often in our civil commotions have I witnessed the furious anger of the multitude, but nothing could be compared to what I witnessed on this occasion. It might have been truly said that all the phantoms of the infernal regions had assembled at Jerusalem. The crowd appeared not to walk, but to be borne off and whirled as a vortex, rolling along in living waves from the portals of the praetorium even unto Mount Zion, with howling screams, shrieks, and vociferations such as were never heard in the seditions of the Pannonia, or in the tumults of the forum.

By degrees the day darkened like a winter’s twilight, such as had been at the death of the great Julius Caesar. It was likewise the Ides of March. I, the continued governor of a rebellious province, was leaning against a column of my basilic, contemplating athwart the dreary gloom these fiends of Tartarus dragging to execution the innocent Nazarene. All around me was deserted. Jerusalem had vomited forth her indwellers through the funeral gate that leads to Gemonica.

An air of desolation and sadness enveloped me. My guards had joined the cavalry, and the centurion, with a display of power, was endeavoring to keep order. I was left alone, and my breaking heart admonished me that what was passing at that moment appertained rather to the history of the gods than that of men. A loud clamor was heard proceeding from Golgotha, which, borne on the winds, seemed to announce an agony such as was never heard by mortal ears. Dark clouds lowered over the pinnacle of the temple, and setting over the city covered it as with a veil. So dreadful were the signs that men saw both in the heavens and on the earth that Dionysius the Aeropagite is reported to have exclaimed, ‘Either the author of nature is suffering or the universe is falling apart.’

Whilst these appalling scenes of nature were transpiring, there was a dreadful earthquake in lower Egypt, which filled everybody with fear, and scared the superstitious Jews almost to death. It is said Balthasar, an aged and learned Jew of Antioch, was found dead after the excitement was over. Whether he died from alarm or grief is not known. He was a strong friend of the Nazarene.

Near the first hour of the night, I threw my mantle around me and went down into the city toward the gates of Golgotha. The sacrifice was consummated. The crowd was returning home, still agitated, it is true, but gloomy, taciturn, and desperate. What they had witnessed had stricken them with terror and remorse. I also saw my little Roman cohort pass by mournfully, the standard-bearer having veiled his eagle in token of grief; and I overheard some of the Jewish soldiers murmuring strange words, which I did not understand. Others were recounting miracles very like those which have so often smitten the Romans by the will of the gods. Sometimes, groups of men and women would halt, then, looking back toward Mount Calvary, would remain motionless in expectation of witnessing some new prodigy.

I returned to the praetorium, sad and pensive. On ascending the stairs, the steps of which were still stained with the blood of the Nazarene, I perceived an old man in a suppliant posture, and behind him several Romans in tears. He threw himself at my feet and wept most bitterly. It is painful to see an old man weep, and my heart being already overcharged with grief, we, though strangers, wept together. And in truth it seemed that the tears lay very shallow that day with many whom I perceived in the vast concourse of people. I never witnessed such an extreme revulsion of feeling. Those who betrayed and sold him, those who testified against him, those who cried, “Crucify him, we have his blood,” all slunk off like cowardly curs, and washed their teeth with vinegar. As I am told that Jesus taught a resurrection after death, if such should be the fact, I am sure it commenced in this vast crowd.

“Father,” said I to him, after gaining control of my feelings, “who are you, and what is your request?”

“I am Joseph of Arimathea,” replied he, “and am come to beg of you upon my knees the permission to bury Jesus of Nazareth.”

“Your prayer is granted,” said I to him; and at the same time I ordered Manlius to take some soldiers with him to superintend the interment, lest it should be profaned.

A few days after, the sepulchre was found empty. His disciples proclaimed all over the country that Jesus had risen from the dead, as he had foretold. This created more excitement even than the crucifixion. As to its truth, I cannot say for certain, but I have made some investigation of the matter; so you can examine for yourself, and see if I am in fault, as Herod represents.

Joseph buried Jesus in his own tomb. Whether he contemplated his resurrection or calculated to cut him another, I cannot tell. The day after he was buried [i.e., Saturday] one of the priests came to the praetorium and said they were apprehensive that his disciples intended to steal the body of Jesus and hide it, and then make it appear that he had risen from the dead, as he had foretold, and of which they were perfectly convinced. I sent him to the captain of the royal guard (Malcus) to tell him to take the Jewish soldiers, place as many around the sepulchre as were needed; then if anything should happen, they could blame themselves, and not the Romans.

When the great excitement arose about the sepulchre being found empty, I felt a deeper solicitude than ever. I sent for Malcus, who told he had placed his lieutenant, Ben Isham, with one hundred soldiers, around the sepulchre. He told me that Isham and the soldiers were very much alarmed at what had occurred there that morning. I sent for this man, Isham, who related to me, as near as I can recollect the following circumstances: He said that at about the beginning of the fourth watch they saw a soft and beautiful light over the sepulchre. He at first thought that the women had come to embalm the body of Jesus, as was their custom, but he could not see how they had gotten through the guards. While these thoughts were passing through his mind, behold, the whole place was lighted up, and there seemed to be crowds of the dead in their grave-clothes. All seemed to be shouting and filled with ecstasy, while all around and above was the most beautiful music he had ever heard; and the whole air seemed to be full of voices praising God. At this time there seemed to be a reeling and swimming of the earth, so that he turned so sick and faint that he could not stand on his feet. He said the earth seemed to swim from under him, and his senses left him, so that he knew not what did occur. I asked him in what condition he was when he came to himself. He said he was lying on the ground with his face down. I asked him if he could not have been mistaken as to the light. Was it not day that was coming in the East? He said at first he thought of that, but at a stone’s cast it was exceedingly dark; and then he remembered it was too early for day

I asked him if his dizziness might not have come from being wakened up and getting up too suddenly, as it sometimes had that effect. He said he was not, and had not been asleep all night, as the penalty was death for him to sleep on duty. He said he had let some of the soldiers sleep at a time. Some were asleep then. I asked him how long the scene lasted. He said he did not know, but he thought nearly an hour. He said it was hid by the light of day. I asked him if he went to the sepulchre after he had come to himself. He said no, because he was afraid; that just as soon as relief came, they all went to their quarters.

I asked him if he had been questioned by the priests. He said they had. They wanted him to say it was an earthquake, and that they were asleep, and offered him money to say that the disciples came and stole Jesus; but he saw no disciples; he did not know that the body was gone until he was told. I asked him what was the private opinion of those priests he had conversed with. He said that some of them thought that Jesus was no man; that he was not a human being; that he was not the son of Mary; that he was not the same that was said to be born of the virgin in Bethlehem; that the same persons had been on the earth before with Abraham and Lot, and at many times and places.

It seems to me that, if the Jewish theory be true, these conclusions are correct, for they are in accord with this man’s life, as is known and testified by both friends and foes, for the elements were no more in his hands than the clay in the hands of the potter. He could convert water into wine; he could change death into life, disease into health; he could calm the seas, still the storms, call up fish with a silver coin in its mouth. Now, I say, if he could do all these things, which he did, and many more, as the Jews all testify, and it was doing these things that created this enmity against him–he was not charged with criminal offenses, nor was he charged with violating any law, nor of wronging any individual in person, and all these facts are known to thousands, as well by his foes as by his enemies–I am almost ready to say, as did Manlius at the cross, “Truly, this was the Son of God.”

Now, noble Sovereign, this is as near the facts in the case as I can arrive at, and I have taken pains to make the statement very full, so that you may judge of my conduct upon the whole, as I hear that Antipater has said many hard things of me in this matter. With the promise of faithfulness and good wishes to my noble Sovereign,

I am your most obedient servant,

Pontius Pilate


Jumat, 18 Mei 2012

RENUNGAN(12):Tentang Mimpi, Penglihatan, Nubuat Dan Pembukaan Firman.


Mimpi merupakan pengalaman hidup manusia yang sudah umum diketahui oleh semua orang, dan sering disebut orang sebagai "bunga orang tidur", dan orang yang berangan-angan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, juga dikatakan sebagai "mimpi di siang hari bolong." Tetapi yang dimaksud dengan 'mimpi' disini bukan mimpi seperti yang umum diketahui oleh orang; mimpi yang dimaksud adalah mimpi yang berisi firman Tuhan yang disampaikan kepadanya yang berisi berita, pemberitahuan, pengajaran, teguran, perintah atau penghiburan.
Seorang beriman yang berdoa meminta sesuatu kepada Tuhan sering mendapat jawaban lewat mimpi, dalam hal ini orang yang bersangkutan mengerti makna mimpi tersebut. Tetapi bila ia tidak mengerti makna mimpi itu hendaknya ia berdoa meminta petunjuk Tuhan atau mencari orang yang mempunyai karunia bernubuat untuk menanyakan makna mimpi itu kepada Tuhan Yesus.

Kej.20:3  Tetapi pada waktu malam Allah datang kepada Abimelekh dalam suatu mimpi serta berfirman kepadanya: "Engkau harus mati oleh karena perempuan yang telah kauambil itu; sebab ia sudah bersuami."

Bil.12:6  Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.

Yl. 2:28 "Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan.

Mat. 1:20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.

Penglihatan terjadi disaat seorang beriman sedang berdoa dan menyembah Tuhan, dimana pada saat ia sedang khusuk menyembahNya,  dalam benaknya muncul sebidang layar putih seperti layar bioskop dan pada layar itu muncul  gambar. Orang yang bersangkutan biasanya langsung mengerti makna gambar penglihatan itu. 
Perbedaannya dengan mimpi adalah bahwa mimpi terjadi pada saat seseorang sedang tertidur sedangkan penglihatan terjadi pada saat seseorang sedang dalam keadaan khusuk sembahyang. Dan biasanya mimpi merupakan gambar hidup (bioskop) yang tidak berwarna, hanya hitam-putih saja, sedangkan penglihatan merupakan gambar tunggal (slide) yang berwarna-warni.

Kej. 15:1 Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan: "Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar."

Why. 9:17 Maka demikianlah aku melihat dalam penglihatan ini kuda-kuda dan orang-orang yang menungganginya; mereka memakai baju zirah, merah api dan biru dan kuning belerang warnanya; kepala kuda-kuda itu sama seperti kepala singa, dan dari mulutnya keluar api, dan asap dan belerang.

Nubuat adalah firman Tuhan yang disampaikanNya kepada satu orang saja atau sekelompok orang melalui mulut seseorang yang mempunyai karunia bernubuat. Firman itu berisi pengajaran, penghiburan, atau teguran kepada orang lain atau kepada diri orang yang bernubuat itu sendiri. Nubuat terjadi di persekutuan orang beriman, atau disaat ia sedang sembahyang secara pribadi di kamarnya.

1 Kor.14:3  Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur.

Pembukaan firman adalah pencerahan yang diperoleh orang beriman tentang firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Seorang yang mendapatkan pembukaan firman ia seperti dibukakan pikirannya sehingga mengerti maksud firman yang dibacanya atau yang diingatnya, dan firman itu seperti menunjuk langsung pada dirinya agar ia memperhatikannya. Pada kasus ini Tuhan sendiri yang berfirman langsung kepadanya, untuk menghibur, menguatkan, mengajar, memberi perintah, atau menegur. 
Makna firman itu dimengertinya tidak melalui proses berpikir dalam otaknya, tetapi seperti kilat yang melintas dibenaknya dan ia langsung mengerti apa yang dimaksudkan firman itu. Pengertian yang diperolehnya itu diluar pemikiran otak manusia, tetapi bila ditelaah lebih mendalam akan nyata kebenarannya, yang tidak terbantahkan. Hasil pengertian itu bersifat baku, dalam arti bahwa pengertian itu tidak pernah berubah selamanya dan kemudian membentuk susunan yang saling mendukung dan kompak serasi dengan banyak pembukaan firman yang diperolehnya berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kemudian . 

Pembukaan firman  yang diperoleh oleh seorang dengan seorang yang lain tidak pernah mempunyai makna yang saling bertentangan, biarpun pengertian itu diperoleh seseorang yang hidup dahulu kala yang berjarak sampai ratusan tahun bahkan sampai ribuan tahun lamanya, dengan pembukaan firman yang diperoleh seorang yang hidup kemudian. Perbedaan dapat terjadi bila ada intervensi dari kepentingan (ego) orang yang bersangkutan, dalam hal ini jelas pembukaan firman yang diperolehnya bukan dari Tuhan melainkan berasal dari pikirannya sendiri. 
Untuk mengetahui suatu pembukaan itu benar dari Tuhan atau bukan, maka yang dapat dilakukan adalah mengujinya dengan firman Tuhan yang ada dalam Alkitab. Bila senafas dan tidak bertentangan maka pembukaan firman itu tentu benar adanya.

Cara lain yang lebih sederhana untuk menguji apakah mimpi , penglihatan, nubuat, dan pembukaan firman itu benar dari Tuhan Yesus atau bukan, adalah dengan jalan 'melupakannya' saja; dengan berlalunya waktu, mungkin sampai beberapa hari atau beberapa minggu, atau beberapa bulan, atau beberapa tahun, bila pembukaan firman yang diperolehnya bukan dari Tuhan Yesus maka ia akan segera melupakannya; tetapi bila itu benar dari Tuhan maka firman itu akan terus mengejarnya; firman itu akan terngiang-ngiang terus dalam benaknya, tidak dapat dilupakannya sampai orang itu mau memperhatikannya, makin lama tuntutan firman itu tidak melemah tetapi justru semakin lama semakin kuat, dan memaksanya untuk memperhatikan dan meresponnya.
Sebagai contoh kejadian seperti ini dapat kita membaca pengalaman nabi Yunus yang berusaha mengingkari firman Tuhan, yang memberinya perintah agar ia memperingatkan orang-orang Niniwe agar mau bertobat atas segala dosa yang mereka perbuat. Walaupun pada mulanya Yunus tidak mau pergi ke Niniwe dan berusaha mengingkarinya, tetapi dengan segala cara akhirnya ia dikirimkan Tuhan kesana.

Yun.1:1-4:11 Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai, demikian: "Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku."
............................................................Lalu Allah berfirman: "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?"


Kamis, 17 Mei 2012

RENUNGAN ( 11 ): Tentang Hidup Menurut Roh

Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh. Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh. Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera. (Rm.8:3-6

Hidup menurut Roh mempunyai banyak istilah yang maknanya sama, antara lain: hidup oleh iman; hidup oleh Roh; hidup dipimpin oleh Roh; hidup baru; hidup menurut kehendak Allah; atau hidup menurut perintah Allah; tetapi perlu ada penjelasan tentang apa yang dimaksudkannya itu. Hidup menurut Roh adalah suatu cara hidup yang berdasarkan iman kepada Tuhan Yesus Kristus, sehingga seorang beriman akan hidup menurut tuntunan Roh Kudus yang datang kepadanya, tuntunanNya itu biasanya disampaikan melalui pembukaan firman, nubuat, mimpi dan penglihatan. Ketika ia mendapatkannya, ia segera sadar dan mengetahui bahwa itu firman Tuhan dan tanpa keraguan ia segera melakukannya sesuai  dengan petunjuk dari firman itu; yang isi pesannya adalah suatu perintah, nasihat, pengajaran, penghiburan atau teguran kepadanya.

Rm.1:17  Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman."

Gal.5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

Rm.6:4 Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.

Ptr.4:6  Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka, sama seperti semua manusia, dihakimi secara badani; tetapi oleh roh dapat hidup menurut kehendak Allah.

2Yoh.1:6  Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya. Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya.

Ay.33:14-16  Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya. Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam, bila orang nyenyak tidur, bila berbaring di atas tempat tidur, maka Ia membuka telinga manusia dan mengejutkan mereka dengan teguran-teguran

Seorang beriman yang mendapatkan "pembukaan firman" dan melakukannya sesuai dengan firman itu akan mendapat lagi "pembukaan firman" yang lain. Semakin rajin ia melakukannya semakin sering ia mendapatkan "pembukaan firman", ini yang dimaksudkan dengan perkataan Tuhan Yesus dalam perumpamaannya tentang talenta.

Mat. 25:29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.

Karena seorang yang diberi "pembukaan firman" adalah seperti seseorang yang masuk kedalam suatu gedung yang sangat panjang, yang terdiri dari banyak kamar yang bersambung-sambungan dan kamar-kamar itu dihubungkan satu dengan yang lain oleh satu pintu yang masih tertutup. Seseorang yang berjalan masuk kedalam kamar-kamar itu harus mulai dari kamar pertama; untuk masuk kamar ke dua harus berjalan masuk melalui kamar pertama sampai pada pintu ke dua, dan untuk masuk kamar yang ke tiga ia harus berjalan melalui kamar ke dua sampai pada pintu yang ke tiga, demikian secara berturut-turut ia harus berjalan dari satu kamar kepintu kamar selanjutnya sampai pada kamar yang terdalam.
Pembukaan firman yang diberikan kepadanya ibarat pintu kamar pertama yang dibukakan, bilamana ia mau melakukannya, ia sama dengan melangkahkan kakinya memasuki kamar pertama itu. Ketika ia melangkahkan kakinya sampai di depan pintu kamar ke dua, ia akan diberi pembukaan yang ke dua, demikian seterusnya ia akan diberikan pembukaan firman yang ke tiga dan pembukaan-pembukaan firman yang selanjutnya.

Mazmur Daud juga menggambarkan pengalaman Daud mendapat bimbingan TUHAN Allah melalui "pembukaan firman" dimana ia kemudian menyampaikannya dalam satu mazmur dengan mengibaratkannya sebagai seorang yang sedang berjalan pada malam hari menggunakan pelita yang di pasangkan pada kedua ujung kasut kakinya, bila ia berjalan di dalam gelapnya malam maka sekitar jalan didepannya sejauh dua tiga langkah di depanya akan diterangi oleh terang dari pelita itu, tetapi jarak yang lebih jauh dari itu masih gelap, demikian setiap ia melangkah maka jalan yang di depannya akan menjadi terang, sehingga ia dapat berjalan selangkah demi selangkah dengan selamat sampai tujuan; terhindar dari lobang, genangan air, atau tersandung batu dan cabang pohon yang menghalang, bila ia tidak menggunakan pelita itu, dan terhindar dari malapetaka.

Maz. 119:105 Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.

Seiring dengan seringnya ia melakukan "pembukaan firman", imannya akan bertumbuh, sesuai dengan pengetahuannya tentang firman Tuhan dan pembaharuan hidupnya. Dan perubahan itu akan nampak oleh orang yang ada disekitarnya sebagai "manusia baru" yang selalu bersyukur karena hidupnya dipenuhi dengan perasaan sukacita dan damai sejahtera. Dalam hidupnya tidak ada lagi perasaan kuatir atau tertekan hal-hal dunia lagi, karena seluruh beban hidupnya sudah diserahkannya kepada Tuhan; sebagaimana ajakan Tuhan Yesus yang telah difirmankanNya dalam Injil:

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Mat.11:28)

Hidup menurut Roh bukan suatu hal yang mudah, karena seseorang yang mau menjalaninya harus meninggalkan semua keinginan dagingnya dan lebih mementingkan kehendak Allah; tetapi bukan hal yang mustahil yang tidak mungkin dilakukan, karena bila ada kemauan untuk melakukannya dan setelah terbiasa ia akan dapat melakukan semua perintah Tuhan yang datang kepadanya dengan ringan dan seperti tanpa beban, karena ia melakukannya dengan senang-hati.

"Pikulah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat.11:29-30)

Rabu, 16 Mei 2012

RENUNGAN ( 10 ): Tentang Berpuasa


'Berpuasa' dilakukan oleh murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang-orang Farisi dan hal ini diberitakan di dalam ketiga injil selain Injil Yohanes; tetapi Injil Matius memberikan keterangan bahwa yang mengajukan pertanyaan itu adalah murid Yohanes, dalam Injil Markus yang bertanya adalah orang umum; sedangkan Injil Lukas yang menanyakan adalah orang Farisi. Tetapi ketiganya memberitakan perkataan Tuhan Yesus yang membicarakan tentang hal berpuasa  dengan kalimat yang sama persis. Hal ini bukan karena kesalahan dari penulis Injil melainkan karena mereka mempunyai sumber cerita yang berbeda. Dengan demikian maka hal ini bisa dijadikan dasar untuk mengambil satu kesimpulan, bahwa  perihal 'berpuasa'  dalam banyak kesempatan, sering sekali ditanyakan orang kepada TuhanYesus ; baik oleh murid-murid Yohanes Pembaptis, orang awam , maupun oleh orang-orang Farisi. Dengan jawaban Tuhan Yesus yang konsisten terhadap pertanyaan itu berulang-ulang maka menjadikannya satu pokok pengajaran Tuhan Yesus yang sangat jelas.   

Mat.9:14-15 Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: "Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

Mrk.2:18-20 Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: "Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

Luk.5:33-35  Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: "Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum." Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa." 

Penggalan perkataan Tuhan Yesus di atas merupakan petunjuk bahwa orang beriman setelah ditinggalkanNya naik ke sorga akan 'berpuasa' seperti yang biasa juga dilakukan oleh penganut  agama lain, yang bagi mereka tindakan itu dilakukan sebagai tindakan penyucian diri atas semua dosa-dosa yang telah  mereka lakukan sebelumnya. Atau merupakan suatu usaha untuk melakukan pendekatan kepada Sang Pencipta agar diberikan berkah di dalam hidupnya (Luk.2:36-37). Tetapi 'berpuasa' yang dimaksud oleh Tuhan Yesus sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh penganut agama-agama itu.

Luk.2:36-37  Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa.

Berpuasa yang dimaksudkanNya adalah berpuasa untuk tujuan tertentu dan dilakukan hanya cukup sekali saja seumur hidupnya. Karena berpuasa yang dilakukan adalah berpuasa untuk mengalahkan setan dan iblis, dan lama berpuasa adalah empat puluh hari empatpuluh malam tanpa makan dan minum (Mat.4:2). Seorang yang berpuasa menurut perintah Tuhan Yesus itu hanya diharuskan bagi murid-muridNya yang sudah dianggap layak, sebagai persiapan untuk pelayanan yang akan diberikan Tuhan kepadanya. Jadi puasa yang diperintahkan Tuhan itu sangat berbeda sifatnya dengan puasa yang dilakukan oleh murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi. Dan murid Tuhan Yesus yang dianggap belum layak tidak akan diperintahkanNya melakukan puasa itu.

Mat.4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya lapar lah Yesus.

Mat.6:16 "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Dalam pengajaran gereja yang dianggap murid Yesus adalah semua orang yang percaya dan beriman kepadaNya, namun dalam hal ini yang dianggap murid adalah orang yang menyerahkan hidupnya dan berikrar tidak kawin karena namaNya serta sudah dibaptis roh, mereka adalah murid lingkaran dalam (lihat pemuridan oleh Tuhan Yesus (9). Bagi mereka yang mejadi murid lingkaran dalam akan mendapatkan pengajaran langsung dari Nya (Gal.1:11-12) dengan melalui penglihatan dan mimpi  serta karunia-karunia Roh yang diberikan kepadanya.

Gal.1:11-12 Sebab aku menegaskan kepadamu, saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil manusia. Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus.








Selasa, 15 Mei 2012

RENUNGAN ( 09 ): Tentang Hidup Membujang


Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana.Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (Mat.19:1-12)

Jawaban Tuhan Yesus terhadap pertanyaan orang-orang Farisi di atas sungguh diluar dugaan mereka, karena pertanyaan yang diajukan orang-orang Farisi berkaitan dengan salah satu pokok perdebatan saat itu yang merupakan pertanyaan yang sulit. Para ahli Taurat yang mengikuti pandangan Hillel beranggapan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya dengan berbagai alasan bahkan alasan yang tidak masuk akal sekalipun. Para penganut Shammai mempunyai pendapat bahwa perceraian hanya diperbolehkan apabila terjadi perzinahan. Sebenarnya orang Farisi mengajukan pertanyaan itu kepada Tuhan Yesus; mereka sudah   tahu jawaban dari mashab Hillel dan mashab Shammai mengenai pokok pertanyaan ini, tetapi mereka bermaksud untuk menguji Nya.

Pandangan Hillel maupun pandangan Shammai ditentangNya dan Ia memberikan satu pandangan yang mengatasi kedua pandangan itu, yaitu suatu pandangan yang menentang segala bentuk perceraian. Menurut Nya perceraian hanya bisa terjadi hanya bila salah satu dari pada pasangan suami-istri meninggal dunia.
Selanjutnya Ia memberikan pernyataan atas tanggapan murid-muridNya tentang pandanganNya itu, ketika murid-murid berpendapat "Jika demikian halnya hubungan suami-istri, lebih baik tidak kawin." 
Dalam pernyataanNya itu Ia membedakan ada tiga kelompok orang yang tidak kawin/ hidup membujang, yaitu:
1) Tidak dapat kawin karena cacat fisik/ mental dari sejak lahir.
2) Tidak dapat kawin karena orang lain.
3) Tidak dapat kawin karena Kerajaan Sorga.

1) Tidak dapat kawin karena cacat fisik/ mental dari sejak lahir.

Keadaan orang yang cacat fisik yang menjadikannya tidak dapat kawin adalah cacat fisik yang berhubungan dengan alat reproduksi, hal demikian tidak dapat ditolak oleh karena adanya kelemahan pada organ tubuh yang terkait. Sedangkan orang yang cacat mental menjadikannya tidak dapat kawin karena walaupun secara fisik pertumbuhannya normal tetapi pertumbuhan mentalnya tertinggal, sehingga hasrat biologis yang berhubungan dengan reproduksi tidak tumbuh. Orang yang mengalami hal demikian secara alami tidak mengalami hasrat biologis, dan menjadikannya tidak kawin.
Sebagai contoh orang yang cacat fisik yang menjadikannya tidak dapat kawin, misalnya: Seorang laki-laki yang tidak mempunyai buah peler/ testis sejak dilahirkan, atau seorang perempuan yang dilahirkan tidak mempunyai  indung telur/ ovarium. Dan contoh orang yang cacat mental yang menjadikannya tidak dapat kawin, misalnya: Seorang yang dilahirkan lemah mental/ ideot, sehingga sepanjang hidupnya ia tidak pernah bertumbuh menjadi dewasa.

2) Tidak dapat kawin karena orang lain

Orang yang termasuk dalam kelompok ini secara fisik dan mental mengalami pertumbuhan yang normal tetapi karena suatu sebab baik disengaja maupun tidak disengaja mengalami kerusakan pada organ reproduksinya, contoh orang seperti ini adalah orang yang mengalami kecelakaan atau dikebiri oleh orang lain. Disamping itu dapat pula karena mengalami kisah kegagalan cinta yang menjadikannya tidak mempunyai minat terhadap perkawinan. Atau justru karena sepanjang hidupnya tidak ada lawan jenisnya yang tertarik untuk mengawininya atau ia sendiri tidak menemukan orang yang ingin dikawininya.

3) Tidak dapat kawin karena Kerajaan Sorga.

Orang yang masuk dalam kelompok ini adalah orang beriman kepada Tuhan Yesus dan mendapatkan pengalaman rohani, yang mendorongnya mau berikrar untuk tidak kawin sepanjang hidupnya dan   menyerahkan hidup serta masa depannya bagi Tuhan Yesus. Orang yang demikian menganggap ikrarnya sebagai persembahan hidup yang menyenangkan Tuhan.(Rm.12:1)

Rm.12:1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

Tetapi ada juga orang yang berikrar untuk tidak kawin diakibatkan  karena cintanya mengalami kegagalan; yang demikian semestinya bukan persembahan hidup yang menyenangkan Tuhan; melainkan hanya suatu pelarian dari perasaaan kecewanya saja. Dengan demikian apa yang dilakukannya akan ditolak Tuhan dan menjadi suatu perbuatan yang sia-sia.
Seorang yang mengucapkan ikrar dihadapan Tuhan Yesus harus dengan motivasi yang benar, yaitu: karena iman, sehingga ia berusaha melakukan sepenuhnya apa yang diajarkan Tuhan kepadanya. Pengajaran itu ia peroleh melalui pembukaan firman dari membaca Injil, nubuat, penglihatan, mimpi, maupun khotbah dalam kebaktian, baik dalam persekutuan maupun dalam saat teduh pribadi.
Seorang beriman yang berikrar untuk tidak kawin berarti ia merelakan masa depannya yang masih panjang kepada Tuhan dan mempersembahkan kesuksesan duniawi yang mungkin akan dapat dicapainya demi Tuhan. Dalam hal ini tentunya ikrar itu dilakukan selagi ia masih muda, kuat, penuh semangat dan masa keemasan kariernya masih terbuka lebar. Ketika itu tentunya ia masih berusia kurang dari tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Tiga puluh tahun untuk seorang wanita dan tiga puluh lima tahun untuk seorang laki-laki.

Banyak orang beriman yang berikrar tidak kawin, mengkuduskan dirinya dan mempersembahkan hidupnya seutuhnya bagi Tuhan, tetapi karena motivasinya kurang benar atau karena kurang pengetahuan, kemudian berbalik ditengah jalan. Banyak yang berikrar karena terdorong semangat yang berapi-api tetapi kemudian setelah beberapa lama berubah, hal ini disebabkan karena pengalaman hidupnya yang baru; bisa karena bertemu dengan seseorang yang dirasakan mencocoki hatinya sehingga ia memutuskan untuk kawin saja, atau karena keadaan yang mendorongnya menjadi bersemangat kepada Tuhan ketika itu, telah berubah, sehingga ia menjadi tidak bersemangat lagi. Hal itu mungkin adalah godaan atau cobaan yang diperkenankan Tuhan, untuk menguji kesungguhan dari ikrarnya itu.

Seorang yang berikrar akan mengalami pertumbuhan iman yang mengubah pandangan hidupnya, karakternya, dan pengetahuannya akan Tuhan Yesus dan kehendak Nya. Ia akan bertumbuh dari manusia duniawi berubah menjadi manusia rohani, yang kemudian pada tingkatan yang paling sempurna akan bertumbuh menjadi seorang yang menyerupai Tuhan Yesus sendiri.(Mat.10:24-25)

Mat.10:24-25  Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya.