Jumat, 11 Januari 2013

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (12)

Karya & Penganiayaan terhadap Martin Luther (1517-1546)

Image
Martin Luther (1483-1546)

Martin Luther, anak penambang Saxon, dilahirkan di Eisleben, Saxony, pada 10 November 1483. Luther muda belajar di Magdeburg dan Eisenach kemudian masuk Universitas Erfurt. Ketika ia lulus pad a 1505, ia mulai belajar hukum karena dorongan ayahnya, tetapi pada bulan Juli ia meninggalkan studi hukumnya, meninggalkan dunia, dan masuk biara Para Pertapa Augustinian di Erfurt. Ia mengatakan bahwa keputusannya yang tiba-tiba ini ia ambil setelah ia terperangkap dalam badai guntur dan terjatub ke tanah karena tersambar petir. Ketika ia terbaring di tanah dengan ketakutan, ia menyadari bahwa hidupnya yang sementara hanya sedikit nilainya, dan yang penting hanyalah kehidupan jiwa yang kekal.

Pada 1508, Luther ditahbiskan di biara, dan pada 1509, dikirim ke Universitas Wittenberg temp at ia me1anjutkan studinya dan mengajar filsafat moral. Pada 1510, Luther berkunjung ke Roma karena urusan ordonya dan kaget ketika melihat korupsi yang terbuka di antara para pejabat gereja yang terkemuka. Pada 1511, ia menerima gelar doktor teologi dan diangkat menjadi profesor Alkitab di Wittenberg.

Meskipun Luther sangat mengenal teologi skolastik Gereja Roma, keseriusannya dalam kekristenan dan kondisi jiwanya menuntunnya pada krisis pribadi yang parah. Dalam teologi yang diajarkan kepadanya, ia tidak bisa menemukan jawaban untuk pergumulannya yang makin meningkat ten tang apakah mungkin memperdamaikan tuntutan hukum Allah dengan ketidakmampuan manusia untuk menjalani hukum tersebut. Untuk menemukan jawabannya ia menjadikan studi Alkitab sebagai pusat pekerjaannya dan dalam studinya yang dipus atkan pada surat-surat Rasul Paulus, terutama surat Paulus kepada jemaat di Roma. Di sanalah ia menemukan jawabannya.

Dalam kematian Kristus di kayu salib, Allah telah memperdamaikan manusia dengan diri- Nya sendiri. Kristus sekarang merupakan satu-satunya perantara antara Allah dengan manusia, dan pengampunan dosa serta keselamatan dihasilkan melalui kasih karunia Allah semata yang diterima melalui iman. Oleh karena itu yang dibutuhkan bukanlah ketaatan seseorang yang ketat pada hukum atau pemenuhan kewajiban agama, melainkan respons iman untuk menerima hal yang telah dikerjakan Allah melalui karya Kristus yang sudah lengkap. Pada saat iman semacam itu matang, respons iman akan menuntun pada ketaatan yang tidak dida sarkan pada rasa takut akan hukuman, melainkan pada kasih.

Pad a saat Luther melanjutkan studinya, ia menyadari bahwa doktrin Paulus secara radikal berbeda dari keyakinan tradisional dan ajaran Gereja Roma. Hal ini memengaruhi pengajaran pribadi Luther, dan mereka secara bertahap segera berpaling dari keyakinan dan doktrin itu. Tidak lama sesudahnya ia sarna sekali menentang teologi skolastik Roma yang menekankan peran manusia untuk mendapatkan keselamatannya sendiri dan menentang banyak praktik gereja yang menekankan pembenaran melalui perbuatan baik. Pemahamannya yang baru ten tang Injil yang sejati dan karya Kristus yang sudah lengkap segera mengakibatkan konflik antara ia dengan pejabat gereja.

Pada 1517, Luther mengalami konfrontasi langsung pertama dengan gerejanya tentang penjualan surat pengampunan dosa. Untuk menggalang dana untuk membangun Basilika St. Petrus di Roma, Paus Leo X mulai menjual surat pengampunan dosa kepada penganut Gereja Roma. Surat itu menjanjikan pengurangan sebagian jumlah waktu yang harus diderita seseorang, entah pembeli surat pengampunan itu sendiri atau orang yang ia kasihi, di api penyucian atas dosa-dosa mereka. Segera setelah itu, imam yang cerdik melihat penjualan sur at pengampunan dosa sebagai cara mendapatkan uang untuk gereja lokal atau untuk diri mereka sendiri. Luther meman dang dirinya sebagai imam Roma yang baik, tetapi ia menolak praktik ini dengan keras karena hal ini tidak alkitabiah dan merendahkan kasih karunia- Nya yang memberikan pengampunan juga merendahkan penderitaan dan penyaliban Yesus Kristus.

Luther dan Paus Leo segera bertikai atas hal ini, tetapi Paus Leo memandang keberatan Luther tidak berdampak apa-apa karena ia memandang rendah Luther. Jadi pada 31 Oktober 1517, Luther memakukan satu daftar berisi 95 dalil atau tesis di pintu utama gereja istana di Wittenberg. Isinya antara lain penyangkalan atas hak paus untuk mengampuni dosa dengan penjualan surat pengampunan dosa. Hampir seketika daftar tersebut beredar luas diJerman sehingga menyebabkan kontroversi besar. Di pihak gereja, biarawan, dan imam di seluruh wilayah itu mulai menyerang Luther dan ajarannya melalui khotbah dan tulisan mereka. Satu di antaranya berkata, "Luther adalah pengikut bidat dan pantas dihukum dengan api." Ia kemudian membakar beberapa tulisan dan khotbah Luther sebagai simbol pembakaran Luther.

Image
"Martin Luther's 95 Theses - 95 Dalil Luther" Lihat di http://www.sarapanpagi.org/martin-luthe ... .html#p3617
Segera setelah itu, Maximian, kaisar Jerman, Charles V, kaisar Roma yang Kudus dan raja Spanyol sebagai Charles I, serta Paus, menghubungi Frederick III, Duke of Saxony dan meminta agar ia membungkam Luther. Frederick tidak bergerak segera, tetapi berkonsultasi dengan banyak orang yang berpendidikan tinggi tentang masalah itu, termasuk Erasmus[1]. Erasmus menjawab Duke dengan mengatakan bahwa Luther melakukan dua kesalahan besar: ia menyentuh perut imam dan ia akan menyentuh mahkota paus. Yang lebih serius, teolog itu memberi tahu Duke bahwa Luther benar dalam keinginannya untuk memperbaiki kesalahan di gereja. Ia kemudian menambahkan peneguhannya ini: "Dampak doktrin Luther itu benar."

Belakangan pada tahun itu, Erasmus menulis surat kepada Uskup Agung Mentz. Dalam suratnya, ia menyatakan, :
"Dunia ini dibebani oleh institusi manusia dan dengan tirani biarawan yang senang menuntut. Dulu orang yang menentang Injil dipandang sebagai bidat. Namun, sekarang orang yang tidak seperti biarawan dianggap bidat dan apa pun yang tidak mereka pahami mereka anggap kesesatan. Mengetahui bahasa Yunani itu kebidatan, atau berbicara lebih baik daripada mereka,juga dianggap kebidatan."

Pada tanggal 7 Agustus 1518, Hierome, Uskup Ascoli, mengeluarkan surat kutipan yang meminta Luther untuk muncul di Roma. Duke Frederick dan Universitas Wittenberg mewakili Luther, menulis surat kepada Paus. Mereka menulis sur at yang sama kepada Carolus Miltitius, bendahara paus, orang percaya kelahiran Jerman yang mereka nilai cukup bersimpati pada Luther. Dalam surat-surat mereka, mereka meminta supaya Luther didengarkan oleh Kardinal Cajetan di Augsburg, bukan di Roma. Paus menjawab dengan memberi tahu Cajetan untuk memanggil Luther ke hadapannya di Augsburg dan segera membawanya ke Roma, jika perlu dengan paksa.

Pada Oktober 1518, Martin Luther pergi ke Augsburg sebagai respons terhadap perintah kardinal. Ia membawa beberapa surat penghargaan bersamanya. Ia menunggu di Augsburg selama tiga hari sampai ada jaminan keamanan yang ia peroleh dari Kaisar Maximillian. Luther kemudian muncul di depan Kardinal Cajetan, yang menuntut tiga hal kepadanya:

1. Supaya ia bertobat dan menarik kembali kesalahannya;
2. Supaya ia tidak mengulang kembali kesalahannya itu;
3. Supaya ia menahan diri dari segala sesuatu yang mungkin menyebabkan kesulitan pada gereja.

Ketika Martin Luther bertanya kepada kardinal apakah kesalahannya yang spesifik, kardinal menunjukkan kepadanya salinan bulla Gereja Roma Paus Leo tentang surat pengampunan dosa dan pengampunan dosa yang dihasilkannya serta menyatakan bahwa iman tidak diperlukan untuk seseorang yang menerima sakramen serta paus tidak mungkin salah dalam semua masalah iman.

Dalam jawabannya secara tertulis, Luther berkata bahwa paus bisa berbuat salah, dan hanya ditaati sejauh hal yang ia katakan sesuai dengan Alkitab, dan siapa pun orang Kristen yang setia memiliki hak untuk tidak setuju dengannya, terutama untuk menunjukkan kesalahan paus dari firman Allah. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang benar, dan manusia tidak bisa dibenarkan dengan melakukan perbuatan baik serta setiap orang yang menerima sakramen harus memiliki iman kepada karya Kristus yang sudah selesai. Dalam setiap hal, Luther mengutip ayat Alkitab yang sesuai untuk meneguhkan kata-katanya,

Namun, kardinal tidak ingin mendengar ayat Alkitab dikutip untuknya dalam masalah ini. Ia mengabaikan argumen Luther yang Alkitabiah dan menjawab dengan doktrin intelektual dan tradisional dari kepalanya sendiri, bukan dari Alkitab. Ia kemudian menyuruh Luther pergi sampai ia siap untuk bertobat. Luther tinggal di Augsburg selama tiga hari kemudian mengirim surat kepada kardinal, yang memberitahukan kepadanya bahwa ia akan berdiam diri terhadap syarat, dan pengampunan yang ditawarkan kepadanya jika musuh-musuhnya melakukan hal yang sarna. Ia juga meminta agar semua masalah kontroversi tersebut dirujuk kepada paus untuk meminta keputusannya. Ia kemudian menunggu selama tiga hari lagi, tetapi ia tidak menerima jawaban dari kardinal. Oleh nasihat teman-temannya, ia meninggalkan Augsburg lalu kembali ke Wittenberg. Sebelum ia berangkat, ia mengirim penjelasan kepada kardinal, dan permohonan kepada Paus, yang ia taruh di temp at umum sebelum ia pergi.

Sebagai respons terhadap permohonan Luther kepadanya, Paus mengeluarkan keputusan baru. Ia menyatakan bahwa surat pengampunan dosa merupakan bagian dari doktrin "Induk Gereja Roma yang kudus, putra mahkota semua gereja" serta menyatakan bahwa paus adalah penerus Petrus, dan akibatnya, mereka adalah wakil Kristus. Ia menyatakan lebih lanjut bahwa mereka memiliki kuasa, dan otoritas untuk melepaskan seseorang dari dosa, dan melakukan pengampunan dosa, terutama untuk memberikan surat pengampunan dosa kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati - yaitu orang-orang yang masih ada di api penyucian. Ia mengatakan bahwa doktrin ini harus diterima oleh semua pengikut Kristus yang setia, dan memperingatkan penganut Gereja Roma bahwa jika mereka tidak menerima, dan mempraktikkan doktrin ini, mereka akan mengalami penderitaan akibat kutukan yang dahsyat, termasuk perpisahan sama sekali dari gereja.

Luther menjawabnya dengan mengimbau diadakannya sidang umum Gereja Roma, dan memprotes surat keputusan Paus. Ketika Paus Leo X mengetahui keluhan Luther kepada sidang umum, ia mengutus bendaharanya, seorang kelahiran Jerman, Carolus Miltitius dengan mawar emas untuk diberikan kepada Duke Frederick. Miltitius juga membawa surat rahasia dari Paus untuk bangsawan lain di wilayah itu. Surat-surat itu menyatakan dukungan mereka terhadap kepentingan Paus, dan penolakan mereka terhadap dukungan Duke terhadap Luther.

Namun, sebelum Miltitius sampai di Jerman, Kaisar Roma yang Kudus Maximillian I meninggal (Januari 1519). Dua pemimpin penting lainnya, segera bertikai untuk memperebutkan takhta yang kosong: Francis I, raja Prancis; dan Charles I, raja Spanyol. Pada akhir Agustus, Charles telah dipilih menjadi raja Jerman, dan sekaligus kaisar Roma yang Kudus, sebagai Charles V, menggantikan Maximillian, yang merupakan kakeknya dari pihak ayah.

Selama musim panas 1519, kontroversi tentang Luther dan ajarannya terus berlanjut. Debat publik secara formal berlangsung di Leipsic, sebuah kota dalam kekuasaan George, Duke of Saxon, paman Duke Frederick. Debat itu terjadi antara biarawan bernama John Eckius dan doktor dari Wittenberg bernama Andreas Carolostadt. Eckius te1ah menyerang ajaran tertentu yang diberikan Luther, terutama yang berkaitan dengan pengampunan dosa oleh paus. Pada sisi lainnya, Carolostadt membela Luther dengan kuat. Duke George menjanjikan keamanan kepada para peserta dan audiens mereka. Martin Luther memutuskan untuk hadir dalam acara debat itu, tetapi tidak ikut ambil bagian, melainkan sekadar mendengarkan hal yang dikatakan.

Meskipun awalnya tidak mau ikut terlibat perdebatan, Luther akhirnya terpaksa berdebat dengan Eckius. Masalah khusus yang mereka bahas adalah otoritas paus. Luther mengambil posisi yang sudah dikenal tentang keputusan Paus. Ia menyatakan bahwa jika keputusan Paus tidak didukung oleh Alkitab, itu tidak sah.

Eckius mengambil posisi garis gereja tradisional dengan mengatakan bahwa paus merupakan penerus St. Petrus, oleh karena itu, mereka memiliki otoritas rohani sepenuhnya atas gereja sebab mereka adalah wakil Kristus di bumi. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Uskup yang diberi otoritas Roma secara kokoh didasarkan pada hukum Allah.

Debat berlanjut selama lima hari. Eckius seorang yang kasar, senang menentang, dan penuh tipu muslihat dalam pendekatannya. Ia ingin menyerahkan musuhnya ke dalam tangan paus. Ia menyatakan alasannya dengan cara berikut: "Seperti halnya gereja, sebagai satu tubuh sipil, tidak bisa ada tanpa kepala karena ia berdiri dengan hukum Allah, resimen sipillainnya seharusnya tidak melepaskan kepalanya; demikian juga hukum Allah mewajibkan agar paus menjadi kepala gereja Kristus secara universal.

Martin Luther menentang argumen ini dengan mengatakan bahwa gereja memiliki kepala - yaitu Yesus Kristus sendiri. Ia mengatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya kepala gereja. Ia berkata, "Gereja tidak membutuhkan kepala yang lain karena gereja adalah lembaga rohani, bukan lembaga yang temporal."

Kemudian Eckius mengutip kata-kata Yesus seperti tercatat dalam Injil Matius, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat- Ku." (Matius 16:18).

Luther menjelaskan bahwa ayat ini merupakan pengakuan iman dan Petrus mewakili gereja universal, bukan hanya ia sendiri. Batu karang itu adalah Yesus Kristus dan firman-Nya, bukan Petrus.


Dalam usaha mendapatkan ayat Alkitab lainnya untuk mendukung argumennya, Eckius mengutip kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes, "Gembalakanlah domba-dombaKu." (Yohanes 21: 16). Ia berkata bahwa kata-kata ini dikatakan Tuhan hanya kepada Petrus sendiri.

Martin Luther menunjukkan bahwa setelah Yesus mengucapkan kata-kata ini kepada Petrus, otoritas yang sama diberikan kepada semua rasul dan Yesus memerintahkan kepada mereka untuk menerima Roh Kudus dan Sang Guru melanjutkan dengan berkata, "Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni" (Yohanes 20:23).

Mencari sumber otoritas lainnya untuk meneguhkan posisinya, Eckius menunjukkan keputusan Konsili Constance. Ia mengutip keputusan mereka untuk berpaut pada paus, yang menurut konsili, adalah "kepala gereja tertinggi." Ia berkata bahwa konsili umum tidak mungkin salah dalam masalah sepenting itu.

Luther berkata bahwa keputusan tertentu dan otoritas Konsili Constance harus dihargai, tetapi hal-hal lain yang berkaitan dengan sidang masih harus dipertanyakan karena itu sekadar keputusan manusia. Ia berkata, "Ini merupakan hal yang paling pasti, bahwa tidak ada sidang yang memiliki kuasa untuk membuat artikel iman yang baru."

Laporan ten tang deb at ini, yang tidak menghasilkan kesimpulan khusus, beredar luas di seluruh Eropa. Eckius tetap yakin akan posisinya, sementara Luther berpegang erat pada keyakinannya tentang pembenaran oleh iman serta Alkitab merupakan peraturan iman dan praktik yang paling utama.

Pada 1520, Luther menyelesaikan tiga bukunya, yang di dalamnya ia menyatakan pandangannya. Buku pertama berjudul Address to the Christian Nobility of the German Nation, ia mendorong pangeran di Jerman untuk mengambil reformasi gereja dalam tangan mereka sendiri. Buku kedua adalah A Prelude Concerning the Babylonian Captivity of the Church, dan di dalamnya ia menyerang Gereja Roma dan teologi sakramennya. Buku ketiga adalah On the Freedom of a Christian Man, di situ ia menjelaskan posisi pembenaran dan perbuatan baik. Biarawan dan doktor Louvian serta Cologne mengutuk buku-buku Luther sebagai bidat. Luther menjawab kutukan itu dengan menyerang imam yang terlibat itu keras kepala, kejam,jahat, dan tidak beriman. Pada tanggal 15 Juni 1520, Paus Leo X mengeluarkan bulla, Exsurge Domine, yang mernberikan kesempatan 60 hari kepada Luther untuk mencabut pandangannya, tetapi bulla itu tidak memberikan dampak apa-apa pada dirinya dan doktrinnya.

Dalam bukunya yang pertama kepada bangsawan Jerman, Luther menentang tiga premis paus, yaitu:
1. Tidak ada hakim sementara atau non-religius yang memiliki kuasa atas kerohanian, tetapi orang-orang ini memiliki kuasa at as yang lainnya.
2. Jika ada ayat Alkitab, yang diperdebatkan, yang harus diputuskan, tidak ada manusia yang menjelaskan Alkitab, atau menjadi hakim atasnya, tetapi hanya paus.
3. Tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk mengadakan sidang kecuali paus.

Ia juga membahas beberapa masalah lain dalam bukunya:
1. Kesombongan Paus tidak boleh didiamkan,
2 Terlalu banyak uang yang dikirimkan dari Jerman ke Paus,
3. Imam-imam seharusnya diizinkan memiliki istri,
4. Seharusnya tidak ada larangan untuk memakan daging,
5. Kemiskinan yang disengaja seharusnya dihapuskan,
6. Kaisar Sigismund seharusnya mendukung John Huss dan Jerome,
7. Bidat seharusnya diyakinkan dengan firman Allah, bukan dengan api,
8. Ajaran pertama untuk anak-anak harus difokuskan pada Injil Yesus Kristus; bukan pada tradisi Gereja Roma.

Setelah Charles V dimahkotai menjadi raja Jerman, dan Kaisar Roma yang Kudus di Aix-la-Chapelle, Paus Leo mengutus dua kardinal kepada Duke Frederick. Misi mereka adalah untuk meyakinkan Duke untuk mengambil tindakan menentang Luther. Kedua kardinal itu pertama berusaha mendapatkan perkenan Duke dengan memuji kebangsawanan, kepemimpinan, garis keluarga, dan kebajikannya lainnya. Kemudian mereka mengajukan dua permintaan khusus demi nama Paus - yaitu untuk membakar semua buku Luther dan mengirim Luther ke Roma atau mengeksekusinya.

Duke menjawab mereka dengan berkata bahwa bendahara paus sendiri telah berkata bahwa Luther harus tetap berada di wilayahnya sehingga ia tidak bisa memengamhi Gereja Roma di negara lainnya. Ia kemudian meminta agar kedua kardinal itu memohon kepada Paus untuk memberikan izin agar teolog dan doktor yang terpelajar memeriksa tulisan-tulisan dan ajaran Luther untuk menentukan apakah ia seorang bidat. Jika ia memang terbukti bidat dan tidak mau mencabut pendapatnya, Duke tidak akan melindunginya lagi, tetapi sementara itu ia masih bertekad melindunginya.

Sebelum kardinal itu kembali ke Roma, mereka mengumpulkan buku Luther sebanyak mungkin yang bisa mereka temukan dan membakarnya di muka umum. Ketika Luther mendengarnya, ia mengumpulkan banyak muridnya dan pengurus fakultas di Universitas Wittenberg lalu mengadakan pembakaran keputusan Paus dan bulla yang dikeluarkan untuk menentangnya di muka umum. Pembakaran dokumen ini terjadi pada 10 Desember 1520.

Pada Januari 1521, Paus Leo X mengutuk Luther sebagai bidat dan mengeluarkan Bulla Pengucilan[2], Decet Romanum Pontificem, menentang Luther dan memerintahkan Kaisar Charles V untuk melaksanakannya. Namun, Kaisar justru memanggil "diet", atau sidang, di Worms; dan pada April 1521, memanggil Luther untuk muncul di hadapannya.

Audiensi pribadi dengan Kaisar dan beberapa bangsawan lainnya dijadwalkan di istana Earl Palatine. Luther secara diam-diam dikawal ke sana, tetapi kemunculannya di depan Kaisar tidak bisa dirahasiakan lagi. Orang banyak datang ke istana untuk melihat Luther yang misterius. Pengawal istana tidak mampu menahan mereka dan banyak orang memanjat balkon tempat mereka bisa melihat dan mendengar rapat tersebut. Suatu kali ketika Luther sedang berusaha berbicara, Ulrick dari Pappenheim memerintahkan kepadanya untuk diam sampai tiba waktunya ia diminta untuk berbicara.

Wakil uskup dari Treves membuka sesi itu dengan berkata, "Martin Luther! Keagungan kerajaan yang kudus dan tak terkalahkan telah memerintahkan dengan persetujuan semua negara di kekaisaran yang kudus, agar kamu muncul di hadapan takhta kita yang agung untuk menjawab dua pertanyaan utama: Apakah kamu menulis buku yang kami tumpuk di depanmu? Maukah kamu mencabut dan menarik kembali buku-buku itu, atau apakah kamu akan bertahan dengan hal yang telah kamu tulis?"

Luther menjawab, "Saya dengan rendah hati memohon kepada keagungan kekaisaran untuk memberikan kebebasan dan waktu luang untuk bermeditasi sehingga saya bisa menjawab interogasi yang dilakukan kepada saya tanpa melanggar firman Allah dan membahayakan jiwa saya sendiri."

Setelah para pangeran mendebatkan permintaannya, Eckius memberikan keputusan Kaisar: "Kaisar yang agung, semata-mata karena grasi yang ia berikan, memberikan waktu satu hari kepadamu untuk merenungkan jawabannya. Besok pada jam yang sama, kamu harus memberikan jawaban kepada kami, tidak secara tertulis, tetapi dengan suaramu sendiri."

Para bentara kemudian mengawal tokoh reformasi itu ke kamarnya, temp at Luther berdoa dan belajar untuk mengetahui kehendak Allah dengan pasti tentang jawaban yang harus ia berikan.

Banyak orang berkumpul untuk mendengar jawaban Luther keesokan harinya. Eckius berkata kepada Luther, "Sekarang sesuai perintah Kaisar, berikan jawaban. Apa kah kamu akan tetap mempertahankan buku-buku yang telah kamu akui sebagai tulisanmu, atau kamu akan menarik kernbali sebagian dari buku-bukumu dan menyerahkan dirimu kepada penguasa yang ditunjuk Allah atasmu?"

Martin Luther menjawab, "Mempertimbangkan fakta bahwa raja kita yang berdaulat dan hakim-hakim yang terhormat menghendaki jawaban yang jujur, saya mengatakan dan mengakui dengan ketetapan hati, sebulat mungkin, tanpa ragu-ragu [ketidakpastian] atau berbelit-belit [mungkin berarti argumen yang menyesatkan], bahwa jika tidak, saya tidak yakin terhadap kesaksian Alkitab sendiri - sebab saya tidak pereaya kepada paus, maupun sidang umumnya yang telah berbuat kesalahan berulang-ulang dan telah bertentangan dengan dirinya sendiri karena hati nurani saya sudah terikat dan ditawan oleh ayat-ayat Alkitab dan firman Allah maka saya tidak akan dan tidak mungkin menarik kembali sikap saya. Jika saya menentang hati nurani saya sendiri, itu akan merupakan hal yang tidak sah dan tidak saleh. Di sinilah saya berdiri dan beristirahat. Saya tidak memiliki sesuatu yang lain untuk dikatakan. Ya Allah, kasihani saya!"

Setelah para pangeran bersidang lagi, Eekius berkata kepada Luther, "Kaisar yang agung menuntut jawaban yang sederhana darimu, entah negatif atau peneguhan, terhadap pertanyaan ini: Apakah kamu bermaksud mempertahankan semua hasil karyamu sebagai seorang Kristen?"

Luther berpaling kepada Kaisar dan para bangsawan lalu memohon kepada me reka untuk menghormati hati nuraninya. Ia memohon dengan sangat kepada mereka untuk tidak memaksanya menentang hati nuraninya, yang ia katakan diteguhkan oleh Alkitab yang kudus. Ia menyimpulkan jawabannya dengan kata-kata langsung: "Saya terikat oleh Alkitab."

Ketika malam tiba, orang-orang yang terkemuka yang sedang bersidang tidak bisa mencapai kesimpulan akhir tentang Luther. Mereka meninggalkan rapat lalu menyuruh Luther digiring kembali ke kamarnya. Ketika kelompok itu bersidang lagi, surat dari Kaisar dibaeakan kepada sidang. Sesungguhnya, surat itu menyatakan bahwa sekalipun Luther bersalah karena tidak menyangkal posisinya, Kaisar akan menghormati janjinya untuk menjamin keamanannya. Oleh karena itu Luther boleh kembali ke rumahnya. Namun sebelum ia pergi, Luther diberi tahu bahwa ia harus kembali ke sidang Kaisar dalam waktu 21 hari.

Kampanye menentang Luther yang gencar mulai berkobar pada saat itu. Plakat-plakat yang menentangnya ditempelkan di banyak tempat dan di seluruh kekaisaran. Nama Luther dibiearakan oleh semua orang - imam maupun orang awam. Selama penangguhan hukuman tiga minggu, Kaisar dan Paus berkolaborasi menyusun rencana; dan Kaisar mengarahkan agar surat perintah yang khidmat ten tang proses pencabutan perlindungan hukum dikeluarkan terhadap Luther dan semua orang yang memihak ia, di mana pun Luther ditemukan ia akan ditangkap, dan semua bukunya akan dirampas dan dibakar. Luther mengungsi di puri Wartburg, tempat ia tinggal di pengasingan selama 8 bulan. Selama waktu itu ia menerjernahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman dan menulis sejumlah pamflet.

Pada saat yang sama Raja Henry VIII dari Inggris menulis surat menentang Luther. Ia memarahi Luther atas sikapnya terhadap surat pengampunan paus dan ia membela supremasi Uskup Roma. Akibat dukungan Henry secara tertulis, Paus menghormati raja dengan memberikan kepadanya, dan para penerusnya gelar yang mulia, "Pembela iman."

Pada November 1521, Paus Leo X terserang demam dan meninggal pada 1 Desember. Ia berumur 47 tahun. Banyak orang curiga ia telah diracun, Penggantinya bernama Adrianus VI, seorang sarjana yang pernah menjadi kepala sekolah Kaisar Charles. Adrianus berasal dari Jerman yang dibesarkan di Louvain. Ia seorang yang berpendidikan tinggi dengan gaya hidup yang moderat dan lemah lembut, tidak seperti para pendahulunya.

Meskipun Adrianus adalah paus pertama yang memberi respons terhadap Reformasi Protestan dengan berusaha memperbarui Gereja Roma, ia masih memandang Luther sebagai musuh gereja dan paus. Tidak lama setelah penunjukan Adrianus sebagai paus, Kaisar mengadakan sidang lain negara-negara Jerman di Nuremberg pada 1522. Adrianus menulis surat kepada sidang, yang di dalamnya ia menyatakan pandangannya tentang Martin Luther. Bagan surat kirimannya sebagai berikut:

Kami mendengar bahwa Martin Luther, pembangun kembali bidat lama yang sudah dikutuk, pertama sete1ah pengumuman bapa-bapa kerasulan; kemudian, sete1ah hukuman yang juga merupakan kutukan terhadap ia, dan terakhir, setelah keputusan putra kami terkasih, Charles V, kaisar terpilih Roma dan Raja Spanyol yang berafiliasi kepada Gereja Roma, yang te1ah diberitakan di se1uruh negara Jerman, tetapi ia be1um dibatasi sesuai perintah atau belum menahan diri sendiri dari kegilaannya, tetapi hari demi hari tidak pernah berhenti mengganggu dan memenuhi dunia dengan buku-buku baru, yang penuh dengan kesalahan, kesesatan, arogansi, dan hasutan, dan yang menulari negara Jerman, dan wilayah lain di sekitarnya dengan pes; dan masih terus berusaha merusak jiwa yang sederhana, dan tingkah laku manusia dengan racun dari lidahnya yang jahat secara moral. Dan yang paling buruk dari semuanya, ia memiliki pendukung bukan hanya dari rakyat jelata, melainkan juga beberapa bangsawan yang berbeda-beda yang juga mulai me1anggar hak-hak imam, berlawanan dengan ketaatan yang harus mereka berikan kepada rohaniwan, dan pejabat dunia, dan sekarang akhirnya juga telah berkembang menjadi perang sipil, dan perpecahan di antara mereka sendiri.

Apakah kamu tidak mempertimbangkan, O pangeran, dan rakyat Jerman, bahwa ini barulah awal, dan permulaan kejahatan, dan kerusakan yang dirancang, dan dikehendaki oleh Luther dengan sekte Lutherannya? Apakah kamu tidak me1ihat dengan je1as, dan menangkap dengan matamu, bahwa pembe1aan kebenaran Injil, yang pertama dimulai oleh penganut Lutheran hanyalah kepura-puraan, dan sekarang telah nyata maksudnya untuk merusak hal-hal yang baik darimu, yang telah mereka inginkan sejak lama? Atau tidakkah menurutmu para pelanggar itu memiliki maksud lain, bahwa atas nama kebebasan untuk menggantikan ketaatan, yang dengan demikian membuka kebebasan umum bagi setiap orang untuk melakukan hal yang ia sukai?

Orang yang menolak untuk memberikan ketaatan yang sepatutnya kepada imam-imam, uskup, dan Uskup Agung dari semua, yang setiap hari berada di depan wajahmu sendiri melakukan penjarahan terhadap harta benda gereja, dan benda-benda yang dipersembahkan kepada Allah, apakah kamu berpikir bahwa mereka akan menahan diri dari barang-barang rampasan dari jemaat? Menurut kamu apakah mereka tidak akan mengambil dari kamu segala sesuatu yang bisa diperoleh tangan mereka?

Bencana yang menyedihkan akhirnya akan memiliki dampak pada dirimu, barang-barangmu, rumahmu, istrimu, anak -anakmu, kekuasaanmu, harta bendamu, dan bait suci [gereja] yang kamu kuduskan dan hormati, kecuali jika kamu melakukan pengobatan segera terhadap hal yang sama.

Oleh karena itu, kami meminta kepadamu, demi ketaatan yang harus diberikan semua orang Kristen kepada Allah dan kepada St. Petrus serta kepada wakilnya di sini di bumi, agar kamu memberikan tangan pertolonganmu untuk memadamkan api publik ini serta berusaha mempelajari sebaik mungkin, bagaimana kamu bisa mengurangi pengaruh Martin Luther itu dan semua penipu lainnya yang melakukan gangguan dan kesalahan ini untuk membuat kesesuaian dan tukar-menukar yang lebih baik dalam hidup maupun iman. Dan jika mereka yang telah terinfeksi menolak untuk mendengar nasihatmu, buatlah ketetapan agar bagian yang masih sehat jangan dirusak oleh penyakit yang sama. Jika kebusukan moral yangjahat ini tidak bisa disembuhkan dengan obat-obat yang lunak dan lembut, obat penenang yang lebih keras harus diberikan dan dibakar dengan keras. Anggota yang sudah menjadi busuk harus dikerat dari tubuh sebab jika tidak, bagian yang sehat juga akan terinfeksi.

Secara demikianlah Allah melemparkan saudara Datan dan Abiram yang menyebabkan perpecahan ke neraka; dan ia yang tidak taat kepada otoritas imam, Allah memerintahkan agar ia dihukum mati. Demikian juga, Petrus, yang terutama di antara rasul-rasul, menempelak Ananias dan Safira yang berbohong kepada Allah sehingga menyebabkan kematian mereka seketika. Demikian juga kaisar- kaisar kuno yang saleh memerintahkan jovinian dan Priscillian sebagai bidat yang harus dipenggal kepalanya.

Sama halnya, St. Jerome berharap agar Vigilant, sebagai bidat, diserahkan tubuhnya untuk dihancurkan agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan. Demikian juga para pendahulu kita di Konsili Constance menghukum mati John Huss dan pengikutnya, Jerome; dan Huss sekarang tampaknya hidup kembali dalam diri Luther. Jika kamu mau meniru tindakan yang pantas dan teladan nenek moyangmu itu, kita tidak akan ragu-ragu, grasi Allah yang murah hati akan mendatangkan kelegaan bagi gerejanya.

Para raja di kekaisaran itu menjawab imbauan Paus untuk menghukum Luther dengan surat mereka sendiri. Inilah parafrase inti sari jawaban mereka:

Kami memahami bahwa kekudusannya dirongrong dukacita yang besar berkaitan dengan Luther dan sektenya. Kami juga menyadari bahwa jiwa-jiwa yang dipengamhi olehnya berada dalam bahaya kebinasaan kekal. Kami ikut merasakan kedukaanmu.

Banyak orang di Jerman berpaut pada pandangan yang sama dengan Luther, dan itulah sebabnya hukuman formal untuk Luther tidak bisa berlangsung. Hal ini akan menyebabkan kehebohan besar, bahkan mungkin perang, dalam wilayah kekaisaran.

Jika keluhan di antara penduduk umum tidak direformasi, tidak ada harapan lagi bagi keharmonisan antara pihak sekuler dengan gereja dalam masalah ini.

Oleh karena itu, kami merekomendasikan agar Paus, seizin Kaisar, mengadakan sidang Kristen di temp at yang nyaman diJerman sesegera mungkin. Dalam sidang ini orang-orang harus didorong untuk berbicara dengan bebas.

Kami merekomendasikan agar Duke Frederick menjaga supaya Luther dan para pengikutnya tidak diperbolehkan menulis, memaparkan, atau mencetak segala sesuatu lainnya. Dan semua pengkhotbah di wilayah Duke dilarang untuk berkhotbah dengan pandangan Luther.

Setiap imam yang tidak menaati petunjuk ini hams dihukum. Setiap buku baru harus diserahkan kepada otoritas gereja untuk disetujui sebelum dijual.

Imam-imam yang menikah atau meninggalkan otoritas mereka harus dihukum oleh petugas gereja yang tetap.

Segera setelah itu, satu pengikut Luther, Andreas Carolostadt dari Wittenberg, mendorong orang-orang untuk mengambil tindakan yang memprovokasi Paus dan wakil gereja lebih jauh. Di antara hal lainnya, Carolostadt mendorong orang-orang untuk membuang gambar dan patung di Gereja Roma. Pada bulan Maret 1522, Luther kembali ke Wittenberg untuk memulihkan tatanan terhadap ikonoklas [3] yang terlalu antusias ini yang menghancurkan mezbah, patung, dan salib.

Karya reformasi Luther selama tahun-tahun berikutnya mencakup penulisan Katekismus Kecil dan Besar, buku-buku khotbah, lebih dari se1usin himne, lebih dari 100 jilid traktat, makalah, komentar Alkitab, ribuan surat, dan terjemahan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Jerman.

Bersama Philipp Melanchthon[4] dan orang lainnya, Luther mengorganisir gereja injili di wilayah Jerman karena didukung oleh para pangeran. Ia menghapuskan banyak praktik tradisional, termasuk pengakuan dosa dan kebaktian pribadi.

Luther berusia 63 tahun ketika ia meninggal pada 18 Februari 1546. Melanchthon menggambarkan jam-jam terakhir sang pembaru itu sebagai berikut:

Hari Rabu, 17 Februari, Dr. Martin Luther menderita sakit yang sudah biasa dideritanya, yaitu karena gangguan cairan tubuh di saluran atau lubang perutnya. Penyakit itu menyerangnya setelah makan malam, yang ia lawan dengan keras dan membuatnya dibawa ke ruang sebelah dan di sana ia terbaring di temp at tidurnya selama dua jam. Selama waktu itu sakitnya makin meningkat. Ketika Dr. Jonas berbaring di kamarnya, Luther bangkit lalu memohon kepadanya untuk bangun dan memanggil Ambrose, kepala sekolah anak-anaknya agar menyalakan api di kamar lainnya. Ketika ia baru saja masuk kamar itu, Albert, Earl of Mansfield, bersama istrinya dan orang-orang lain segera datang ke kamarnya.

Akhirnya, karena merasa saat-saat terakhirnya sudah mendekat, sebelum pukul sembilan pagi, pada 18 Februari, ia menyerahkan dirinya kepada Allah dalam doanya yang saleh ini: "Bapaku di surga, Allah yang kekal dan pemurah, Engkau telah menyatakan kepadaku Anak- Mu yang kekasih, Tuhan kami Yesus Kristus. Aku telah mengajarkan tentang Dia, aku telah mengenal Dia, aku mengasihi Dia sebagai hidupku, kesehatanku, dan penebusanku. Orang-orang yang jahat telah menganiaya, mernfitnah, dan menyebabkan Dia yang aku kasihi menderita. Ambillah nyawaku untuk-Mu."

Beberapa saat berlalu kemudian Luther mengulang doa penyerahan nyawanya tiga kali: "Aku menyerahkan rohku ke dalam tangan-Mu. Engkau telah menebus aku, Oh Allah kebenaran."Ia mengikuti doanya dengan kutipan ayat Alkitab favoritnya: "Oleh karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yohanes 3:16). Akhirnya, ia menutup matanya dan tidak membuka lagi.

Musuh-musuh Luther bersukacita ketika mengetahui kematiannya karena berpikir bahwa pekerjaannya mungkin akan mati bersamanya. Namun, tentu saja tidak demikian sebab pekerjaannya didasarkan pada kebenaran firman Allah. Dan seperti halnya firman, doktrin Luther bertahan dan menyebarkan Injil Yesus Kristus yang benar ke seluruh dunia.

-------
[1] Erasmus, Desiderius, (1446-1536) Sarjana Renaissance Belanda dan teolog Gereja Roma yang berusaha menghidupkan kembali teks-teks klasik zaman kuno, memulihkan iman Kristen yang sederhana dan didasarkan pada Alkitab, dan menghilangkan hal-hal yang tidak pantas dalam Gereja Roma abad pertengahan. Karyanya mencakup The Manual of The Christian Knight, yang diterbitkan pada 1503, dan The Praise of Folly yang diterbitkan pada 1509.
[2] Bulla, Meterai bulat yang dicapkan pada papan bull. Bull, dokumen resmi, seringkali merupakan keputusan, yang dikeluarkan oleh paus, dan dimateraikan dengan bulla.
[3] Ikonoklas (iconoclast), Seorang yang menyerang dan berusaha menggulingkan ide atau lembaga tradisional/ popular - seorang yang menghancurkan ikon/ gambar keagamaan yang sakral.
Iconoclasm, artinya penghancuran ikon-ikon (patung, lukisan, ukiran) religious. Sering terjadi waktu jaman perselisihan besar antara Protestan dan Katolik. Lawan katanya iconodules (dules = dulia). Jelas bagi Gereja Katolik Roma, Iconoclasm adalah bidat, karena ikon-ikon Gereja Roma dihancurkan, dan tentu itu berarti ssault against iman Gereja Katolik Roma.
Iconoclasm sendiri terjadi sepanjang sejarah, tetapi yang khusus jamannya Reformasi terjadi di Zürich (1523), Copenhagen (1530), Münster (1534), Geneva (1535), Augsburg (1537) dan Skotlandia (1559). Tentu kalau mau lebih lengkapnya bisa di cek di Catholic Encyclopedia http://www.newadvent.org/cathen/07620a.htm
[4] Melanchthon, Philipp, Aslinya Philipp Schwarzed, 1497-1560. Teolog Jerman dan pemimpin reformasi Jerman. teman Martin Luther, ia menulis Loci Communes, yang diterbitkan pada 1521. Ini merupakan makalah ekstensif pertama yang menguraikan doktrin Protestan.

Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.

Artikel terkait :
- Martin Luther's 95 Theses - 95 Dalil Luther, di http://www.sarapanpagi.org/martin-luthe ... .html#p3617

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (11)

Kemartiran William Tyndale (1536),
John Frith, & Andrew Hewet (1533)

William Tyndale :
Sekarang kita sampai pada kisah tentang martir Allah, William Tyndale, yang pasti telah dipilih Allah untuk menggali akar dan fondasi pemerintahan paus. Akibatnya, pangeran besar kegelapan karena telah berbuat jahat terhadap Tyndale, tidak membiarkan sebuah
batu tak terguling dalam usahanya untuk menjebak Tyndale, mengkhianatinya, dan mencabut nyawanya.


Image
Ini adalah potret klasik William Tyndale yang diterima meskipun persis sama dengan potret yang dibuat oleh reformator John Knox beberapa tahun setelah kematian Tyndale. Buronan jarang dipotret dalam posisi duduk.

Tyndale dilahirkan dekat perbatasan Wales pada tahun 1494. Ia dididik di Oxford dan Cambridge, serta segera memulai pekerjaannya seumur hidup menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Ketika ia meninggalkan Cambridge, ia menjadi kepala sekolah untuk anak-anak Master Welch ksatria Gloucestershire di Inggris.

Master Welch menyajikan pesta makan malam yang terkenal sehingga sering dikunjungi oleh pejabat gereja yang terdidik dari kalangan atas. Oleh karena menjadi anggota keluarga itu, Tyndale ikut makan malam bersama mereka dan bergabung dalam diskusi ten tang orang-orang seperti Martin Luther, teolog Jerman, dan Desiderius Erasmus[1], sarjana Renaissance dari Be1anda, dan teolog Gereja Roma - dan mengambil bagian dalam diskusi mereka tentang kontroversi gereja dan pertanyaan-pertanyaan ten tang Alkitab.

Oleh karena Tyndale berpendidikan tinggi dan te1ah menyerahkan dirinya untuk mempelajari firman Allah, ia tidak pernah ragu-ragu untuk memberikan penilaiannya tentang masalah-masalah Alkitab dengan kata-kata yang jelas dan sederhana. Ketika mereka tidak setuju dengannya, ia menunjukkan kepada mereka dalam Alkitab hal yang dikatakan Alkitab, bagaimana mereka salah dalam keyakinan dan doktrin mereka. Hal ini sering terjadi di rumah Welch, dan imam lokal segera menjadi khawatir dengan referensi Tyndale yang konstan pada Alkitab dan kritikannya terhadap doktrin mereka lalu mulai menaruh dendam secara diam-diam terhadapnya dalam hati mereka.

Tidak berapa lama kemudian imam itu mengundang Master dan Lady Welch ke pesta tanpa Tyndale, dan segera mulai menguraikan doktrin mereka yang salah dengan bebas dan tanpa gangguan. Tidak diragukan lagi mereka merencanakan ini sebagai usaha untuk membuat Master Welch dan istrinya menentang Tyndale lalu mendukung doktrin mereka. Mereka hampir berhasil dalam hal ini sebab tidak lama setelah Master dan Lady Welch pulang ke rumah, mereka mulai berdebat dengan Tyndale tentang hal-hal yang dibicarakan imam-imam di pesta tadi. Tyndale menggunakan Alkitab dan mulai berdebat dengan mereka bagaimana hal-hal yang telah diberitahukan kepada mereka itu salah. Kemudian Lady Welch dengan cara yang agak menghina, berkata kepadanya, "Satu di antara doktor [ilmu ketuhanan] yang hadir di sana bisa membe1anjakan uangnya seratus pound jika ia mau; dan yang lain, dua ratus pound; dan yang lain, tiga ratus pound. Jadi, dengan alas an apa kami bisa memercayai kamu dan bukan mereka?"

Tyndale melihat bahwa tidak ada gunanya baginya untuk menjawabnya, jadi sete1ah itu ia hanya sedikit berbicara tentang masalah-masalah itu. Namun, pada saat itu ia mengerjakan terjemahan buku Erasmus, The Manual of the Christian Knight, yang telah diterbitkan pada 1509, dan ia memberikan satu salinan terjemahannya kepada tuan dan nyonyanya lalu meminta kepada mereka untuk membacanya. Mereka membaca buku itu; dan sejak saat itu, hanya sedikit imam yang diundang ke rumah mereka untuk makan malam; dan ketika mereka diun dang mereka tidak diberi kesempatan untuk menguraikan doktrin Gereja Roma mereka dengan bebas.

Ketika hal ini berlanjut dan imam itu menyadari bahwa pengaruh Tyndale yang makin besar di rumah Welch yang menjadi penyebab sikap mereka itu, mereka berkumpul dan berbicara menentang Tyndale di kedai minum atau tempat-tempat lainnya. Mereka mengatakan bahwa yang ia ajarkan itu sesat. Mereka juga menuduhnya di depan wakil uskup [sekretaris] dan beberapa pegawai uskup.

Akibatnya, Wakil Uskup memerintahkan kepada imam-imam itu untuk muncuI di hadapannya dan memerintahkan Tyndale untuk hadir juga. Tyndale tidak ragu-ragu bahwa sesi itu dimaksudkan bukan untuk memanggil para pejabat gereja, me1ainkan untuk membuat tuduhan dan ancaman terhadapnya.Jadi, dalam perjalanan ia berdoa sungguh-sungguh dan dalam hati kepada Allah agar Dia memberikan kekuatan kepadanya untuk berdiri teguh dalam kebenaran firrnan-Nya.

Ketika saatnya tiba untuk muncul di depan Wakil Uskup, ia diancam, dicaci-maki, dan dibicarakan seolah-olah ia adalah anjing. Banyak tuduhan yang diarahkan kepadanya, tetapi tidak seorang pun yang muncul ke depan untuk membuktikan tuduhan tersebut meskipun semua imam dari wilayah itu ada di sana. Jadi, Tyndale terlepas dari cengkeraman mereka lalu kembali ke Master Welch.

Di dekat keluarga Welch tinggal seorang doktor ilmu ketuhanan dan mantan sekretaris uskup yang bersikap bersahabat kepada Tyndale se1ama beberapa saat. Tyndale mendatanginya dan menjelaskan banyak hal yang ia temukan dalam Alkitab yang bertentangan dengan doktrin paus dan yang menimbulkan masalah baginya dengan imam lokal dan uskup sebab ia tidak takut membuka hatinya kepada orang ini. Doktor itu berkata kepadanya, "Tidak tahukah kamu bahwa pemimpin Gereja Roma sesungguhnya adalah antikris yang dibicarakan Alkitab? Namun, berhati-hatilah dengan hal yang kamu katakan sebab jika seseorang menemukan kamu memiliki pendapat itu, itu akan mendatangkan risiko bagi jiwamu."

Tidak lama sesudahnya, Tyndale berselisih dengan teolog tertentu tentang kebenaran Alkitab sampai orang itu meneriakkan kata-kata penghujatan ini karen a frustrasi, "Kami akan menjadi lebih baik tanpa hukum-hukum Allah daripada tanpa paus."

Ketika Tyndale mendengar hal ini, semangat kesalehannya menyembur keluar dan ia menjawab, ''Aku menentang paus dan semua hukumnya! jika Allah memelihara hidupku, tidak sampai beberapa tahun aku akan membuat setiap anak yang bekerja di sawah dan membajak ladang mengetahui lebih banyak ayat Alkitab daripada paus!"

Ketika waktu berlalu, imam-imam semakin mencerca Tyndale dan menuduhnya banyak hal, seraya mengatakan bahwa ia bidat. Tekanan serangan mereka menjadi begitu besar sehingga Tyndale menemui Master Welch dan berkata bahwa ia ingin meninggalkan pekerjaannya lalu pergi ke tempat lain. "Saya yakin,"katanya, "Saya tidak akan diizinkan untuk tinggal di sini lebih lama dan kamu tidak akan mampu melindungi saya meskipun saya tahu kamu akan berusaha melakukannya. Namun, hanya Allah yang tahu apa kesulitan yang akan kamu alami jika kamu tetap mempertahankan saya di sini, saya akan menyesal jika itu terjadi." Jadi, Tyndale pergi dengan berkat Master Welch, menuju London dan di sana menyampaikan khotbah untuk beberapa saat, seperti yang telah ia lakukan di negara itu.

Tidak lama setelah ia tiba di London ia berpikir tentang Cuthbert Tonstal, yang pada saat itu menjadi Uskup London, dan terutama catatan Erasmus dalam bukunya saat ia memuji Tonstal karena pengetahuannya yang luas. Ia merasa bahwa ia akan sangat senang jika ia bisa bekerja untuk Tonstal. Tyndale menulis surat kepada Uskup kemudian pergi menemuinya, sambil membawa salinan orasi Isocartes, orator dan guru dari Atena, yang te1ah ia terjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Inggris, tetapi Uskup memberikan berbagai alas an mengapa ia tidak memiliki pekerjaan untuknya dan menyarankan agar ia mencari pekerjaan di tempat lain di London. Percaya bahwa Allah dalam hikmat- Nya telah menutup pintu karena alasan tertentu, Tyndale kemudian menemui Humphrey Mummuth, anggota dewan kota di London lalu meminta tolong kepadanya. Mummuth menerimanya di rumahnya, tempat ia tinggal se1ama sekitar setahun. Sementara ia ada di sana, Mummuth berkata, Tyndale hidup seperti seorang imam yang baik, be1ajar siang dan malam serta hanya makan makanan yang sederhana dan hanya minum satu gelas bir, pun mengenakan pakaian yang paling sederhana.

Selama tahun itu Tyndale merasakan dorongan yang kuat untuk menerjemahkan Perjanjian Baru dari bahasa Latin ke bahasa yang lebih sederhana. Namun, ketika ia melihat bagaimana para pengkhotbah menyombongkan diri mereka sendiri dan mengklaim otoritas total dalam masalah-masalah rohani serta betapa sia-sia segala sesuatu yang dilakukan Uskup dan seberapa besar ia tidak disukai oleh mereka semua, ia menyadari bahwa tidak ada temp at baginya untuk me1akukannya di London atau Inggris. Allah segera menyediakan uang yang cukup baginya me1alui Mummuth dan beberapa orang lain untuk meninggalkan Inggris, lalu pergi ke Jerman, tempat Martin Luther baru saja selesai menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman (1521), dan sedang mengerjakan banyak traktat, katekismus, dan terjemahan seluruh Alkitab.

Setelah bertemu dengan John Frith, Martin Luther, dan ternan-ternan lainnya, Tyndale memutuskan bahwa satu-satunya jalan ia bisa mendapatkan manfaat yang ia inginkan dari terjemahannya adalah dengan menggunakan bahasa yang diucapkan oleh rakyat jelata, agar mereka bisa membaca dan melihat firm an Allah yang sederhana dan jelas. Tidak diragukan bahwa keputusannya diperngaruhi ketika ia melihat terjemahan Luther dan dampak yang dihasilkan pada orang Jerman.

Tyndale tahu bahwa tidak mungkin meneguhkan orang awam dalam kebenaran apa pun kecuali Alkitab dibentangkan dengan gamblang di depan mata mereka dalam bahasa mereka sendiri sehingga mereka bisa memahami arti teks itu. jika tidak, musuh kebenaran akan menghancurkan itu dengan menggunakan argumen yang mirip dengan itu, tetapi menyesatkan, tradisi yang mereka buat sendiri tanpa dasar Alkitab, dengan mengubah teks, dan menguraikannya sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk menentukan apakah hal yang mereka katakan benar maknanya atau tidak.

Ia yakin bahwa penyebab utama semua masalah dalam gereja adalah karena firman Allah disembunyikan dari rakyat, jadi untuk waktu yang begitu lama, berbagai pengajaran dan kebenaran-kebenaran firm an sangat tergantung pada para pejabat gereja. Oleh karena itulah para imam berusaha melakukan apa pun semampu mereka untuk membiarkan Alkitab tetap tersembunyi supaya Alkitab tidak bisa dibaca sarna sekali. Dan bahkan jika ada seseorang yang bisa membaca Alkitab, imam menyimpangkan maknanya sehingga orang awam yang tidak berpendidikan yang memandang rendah penyimpangan mereka tidak dapat menyelesaikan teka-teki dalam doktrin mereka meskipun dalam hati mereka bahwa tahu hal yang diajarkan imam kepada mereka itu salah.

Oleh karena alasan ini dan yang lainnya, Allah mendorong orang yang baik ini untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris untuk kepentingan orang sederhana di negaranya. Tyndale mulai mencetak terjemahan Perjanjian Barunya pada 1525 di Cologne, Jerman, tetapi digang gu oleh keputusan legal, dan menyelesaikan percetakannya di Worms pada 1526. Segera sete1ah itu, terjemahannya muncul di Inggris. Ketika Cuthbeth Tonstal, Uskup London, dan Sir Thomas More, jurubicara MPR, melihat terjemahan itu mereka merasa sakit hati dan mulai merancang cara untuk menghancurkan hal yang mereka sebut "terjemahan yang salah dan menyesatkan."

Ketika itu terjadi, Augustine Packington, pedagang tekstil, berada di Antwerpen di Belanda dalam perjalanan bisnis dan di sana bertemu dengan Uskup Tonstal, yang berada di sana karena Tyndale telah pindah ke sana dari Worms. Packington menyukai Tyndale, tetapi ia memberi tahu Uskup bahwa ia tidak menyukainya. Tonstal dan Thomas More telah merancang cara mereka bisa membeli semua buku Tyndale sebelum buku itu sampai di Inggris dan ia memberitahukannya kepada Packington. Packington menjawab, "Tuanku! Aku bisa melakukan jauh lebih banyak untuk membantumu dalam masalah ini daripada kebanyakan pedagang lain di sini, jika itu menyenangkan kamu. Saya mengenal orang Belanda, dan orang-orang asing yang te1ah membeli buku Tyndale darinya untuk dijual kembali, jadi jika kamu mau memberikan uang yang aku butuhkan, aku akan membeli setiap buku yang telah dicetak, dan masih belum terjual dari mereka."

Uskup, yang berpikir bahwa ia telah menginjak Allah, dan menguasai segala sesuatu, berkata, "Lakukan usahamu yang terbaik, Master Packington yang baik. Dapatkan buku-buku itu untukku, dan aku akan membayar berapa pun jumlahnya sebab aku bermaksud untuk membakar, dan menghancurkan semua buku itu di Gereja Salib Paulus di London."

Setelah menerima uang dari Uskup, Packington segera menemui Tyndale dan memberi tahu seluruh rencana tersebut, dan kesepakatan diadakan di an tara mereka untuk menjual semua buku yang bisa ia jual kepada Uskup. Jadi, Uskup London mendapatkan buku-buku itu, Packington mendapatkan ucapan terima kasih, dan Tyndale sekarang memiliki banyak uang untuk mencetak buku lebih banyak.

Setelah hal ini berlangsung, Tyndale merevisi, dan memperbaiki terjemahan Perjanjian Barunya, dan meningkatkan percetakannya sehingga jumlahnya tiga kali lipat dibanding sebelumnya, dan mengirimnya ke Inggris. Ketika Uskup tahu bahwa ada lebih banyak buku yang muncul di Inggris, ia mengutus orang kepada Packington yang berada di London untuk berbisnis dan berkata kepadanya, "Bagaimana bisa ada begitu banyak Perjanjian Baru di sini? Kamu berjanji kepadaku bahwa kamu akan membeli semua buku itu bagiku."
Packington menjawab, "Aku membeli semua buku yang tersedia, tetapi jelas mereka telah mencetak buku lebih banyak sejak saat itu. Mungkin masalahnya sejauh ini tidak lebih baik karena mereka memiliki stempel untuk mengirimkan buku-buku itu. Jadi, lebih baik kamu membeli stempelnya juga, jika kamu ingin memastikan." Mendengar jawaban itu, Uskup tersenyum karena menyadari bahwa ia telah diperdaya, dan masalah itu berakhir di situ.

Tidak lama sesudahnya, George Constantine, yang dicurigai sebagai bidat, dimasukkan ke penjara oleh Sir Thomas More, yang sekarang telah menjadi wakil penguasa Inggris. More berkata kepadanya, "Constantine, aku ingin kamu jujur kepadaku tentang hal-hal yang aku tanyakan kepadamu. jika kamu jujur, aku berjanji akan menunjukkan kemurahan kepadamu dalam semua hallainnya yang dituduhkan kepadamu. Di seberang laut adalah Tyndale, Joye, dan orang-orang besar seperti kamu. Aku tahu mereka tidak bisa hidup tanpa bantuan. Ada beberapa orang yang membantu memberi uang kepada mereka, dan karena kamu adalah satu dari mereka, dan kamu tahu dari mana uang mereka berasal, aku mendorong kamu untuk mengatakan kepadaku siapa yang membantu mereka."

"Tuanku," kata Constantine. "Aku ingin mengatakan kebenaran. Uskup dari London itulah yang telah membantu kami sebab ia telah memberi banyak uang kepada kami untuk membeli Perjanjian Baru yang dicetak untuk dibakar. Ia selalu menjadi satu-satunya penolong, dan penghibur kami dari dahulu sampai saat ini."

''Aku memegang janjiku," kata More, "Sebab aku sudah berpikir demikianlah halnya, oleh karena itu aku memberi tahu Uskup sebelum ia melakukannya."

Tidak lama sesudahnya, Tyndale menerjemahkan Perjanjian Lama, dan menulis kata pengantar untuk setiap bab yang sangat berharga untuk dibaca berulang-ulang oleh semua orang yang melihatnya. Buku-buku ini dibawa ke Inggris melalui berbagai sarana, dan tidak bisa dikatakan bagaimana pintu cahaya telah dibuka melalui buku-buku itu di depan mata seluruh bangsa Inggris, yang sebelumnya telah tertutup dalam kegelapan. Buku-buku Tyndale, terutama terjemahan Perjanjian Baru, mendatangkan keuntungan rohani yang besar kepada orang awam yang saleh, tetapi mendatangkan kerugian besar bagi imam yang tidak saleh, yang takut melihat cahaya kebenaran menyinari perbuat an mereka yang gelap. Jadi, mereka mulai bangkit, dan merencanakan bagaimana mereka bisa menghentikan Tyndale.

Ketika Tyndale telah menerjemahkan Kitab Ulangan, ia ingin mencetaknya di Hamburg, Jerman, jadi ia naik kapal ke jurusan itu. Namun, kapal itu karam di pantai Belanda dan ia kehilangan semua buku, tulisan, dan salinannya, uang, dan waktu, dan harus mulai dari awallagi. Ia melanjutkan ke Hamburg dengan kapallain, dan dengan bantuan Master Coverdale, menerjemahkan kembali kelima kitab Musa - dari hari Paskah sampai Desember 1529, di rumah seorang janda yang saleh, Mistress Margaret Van Emmerson. Setelah selesai, ia kembali ke Antwerpen.

Pada bagian akhir Perjanjian Baru bahasa Inggrisnya, Tyndale menyisipkan surat memohon orang yang membaca terjemahan itu untuk memberi tahunya jika mereka menemukan kesalahan yang paling kecil sekalipun, atau jika ada terjemahan yang mereka pan dang salah, dan harus dikoreksi. Namun, para pejabat gereja karena tidak ingin buku itu sukses, berseru menentangnya dan mengatakan bahwa ada seribu kesesatan di dalamnya, dan buku itu tidak perlu dikoreksi, tetapi disingkirkan sama sekali.

Beberapa imam berkata bahwa tidak mungkin menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Beberapa orang berkata orang awam tidak berhak untuk memiliki Perjanjian Baru dalam bahasa umum yang mereka gunakan. Beberapa orang berkata itu akan membuat semua orang awam menjadi bidat. Dan untuk membujuk penguasa sekuler seperti Sir Thomas More untuk memihak mereka, yang sudah ia lakukan sebelumnya karena ia adalah penganut Gereja Roma yang teguh, mereka berkata bahwa itu akan membuat rakyat memberontak terhadap raja.

Imam di Inggris ini, yang seharusnya menjadi penuntun rakyat kepada terang, tidak mau menerjemahkan Alkitab sendiri atau mengizinkan orang lain menerjemahkan. Yang mereka inginkan hanyalah membiarkan orang-orang tetap dalam kegelapan, dan memanipulasi hati nurani mereka dengan tradisi dan doktrin yang salah. Dengan demikian mereka bisa memuaskan ambisi mereka pribadi, dan ketamakan mereka, dan meninggikan kehormatan mereka sendiri mengatasi kehormatan raja atau kaisar - bahkan melampaui Kristus sendiri.

Uskup, dan pejabat gereja lainnya tidak pernah beristirahat sampai raja menyetujui mereka. Dan pada tahun 1537 sebuah pernyataan dengan tergesa-gesa dibuat, dan diterbitkan di bawah otoritas sekuler yang melarang terjemahan Perjanjian Baru Tyndale di mana pun di Inggris. Namun tidak puas dengan itu, para imam membuat rencana untuk menjebak Tyndale dalam jaring mereka, dan mencabut nyawanya.

Mereka melakukannya dengan cara seperti ini:
Dari pemeriksaan catatan di London, tampak jelas bahwa para uskup, dan Sir Thomas More mengurung beberapa orang yang menyertai Tyndale di Antwerpen di penjara, dan mereka dengan hati-hati menanyai mereka untuk menemukan hal yang bisa mereka ketahui tentang Tyndale, hal yang menjadi harta miliknya, di rumah siapa ia tinggal, di manakah rumah itu, seperti apakah ia, bagaimana cara ia berpakaian, kapan ia pergi keluar, ke mana ia biasanya pergi, dan tempat ia bertemu dengan orang-orang lain. Ketika mereka telah mengetahui semua ini, mereka mulai melakukan tindakan mereka yang jahat.

Di Antwerpen, William Tyndale telah tinggal selama satu tahun di rumah Thomas Pointz, seorang Inggris yang memiliki rumah penginapan untuk para pedagang Inggris. Henry Philips, yang ayahnya adalah pedagang, dan menjalankan bisn is di Antwerpen, datang ke kota itu seolah-olah menjalankan bisnis ayahnya. Ia membawa pelayan bersamanya, dan tampak seperti seorang terhormat yang bisa dipercaya. Tyndale sering makan malam di tempat yang bias a dikunjungi para pedagang; dan di sana ia bertemu dengan Philips, yang entah bagaimana segera mendapatkan kepercayaan Tyndale, dan bersahabat dengannya. jadi, Tyndale mengajaknya berkunjung ke rumah Pointz,dan menjamu makan malam satu atau dua kali. Ia bahkan menampung Philips di rumah itu untuk sementara, dan memercayainya sedemikian rupa sehingga ia menunjukkan kepadanya buku-bukunya, dan hal-hal rahasia di ruang belajarnya.

Namun, Thomas Pointz tidak terlalu memercayai Philips, dan bertanya kepada Tyndale bagaimana ia berkenalan dengannya. Tyndale menjawab bahwa ia adalah orang yang jujur, berpendidikan tinggi, dan sangat sesuai dengan rencananya. Melihat bahwa Philips sangat disukai oleh Tyndale, Pointz tidak berkata-kata lebih banyak, dan berpikir bahwa mereka mungkin telah berkenalan lama melalui ternan mereka masing-masing.

Setelah beberapa saat tinggal di kota itu, Philips meminta kepada Pointz untuk menunjukkan tempat-ternpat perdagangan di wilayah itu kepadanya. Selama perjalanan mereka, mereka bercakap-cakap ten tang berbagai hal, termasuk masalah raja Inggris, tetapi tidak ada apa pun yang dikatakan yang membuat Pointz mencurigai apa pun. Namun, setelah beberapa saat, Pointz mulai memahami bahwa Philips berusaha memastikan apakah ia akan membantunya dalam rencana yang ia buat demi uang. Pointz tahu bahwa Philips memiliki banyak uang karena Philips beberapa kali meminta tolong kepadanya untuk mencarikan barang-barang tertentu, dan selalu yang terbaik. Dan Philips selalu berkata, "Saya memiliki uang cukup." Rencana, dan uang akhirnya bertemu, dan Pointz setuju dengan hal yang diinginkan Philips untuk ia kerjakan.

Keesokan harinya Philips pergi ke Brussels, sekitar 38,6 km dari Antwerpen lalu membawa pulang jenderal-prokurator, yang merupakan pengacara Kaisar, dan beberapa petugas hukum. Sekitar tiga hari kemudian Pointz pergi ke Barrois, 29 km dari Antwerpen; dan di sana ia berkata ia memiliki bisnis yang membuatnya meninggalkan rumah selama empat sampai enam minggu.

Beberapa hari setelah Pointz pergi, Henry Philips datang ke rumah Pointz pada subuh, dan bertanya kepada istrinya apakah Master Tyndale ada di sana. Ketika diberi tahu bahwa ia ada, ia pergi lalu menempatkan petugas yang ia bawa dari Brussels di jalan, dan di depan pintu. Sekitar tengah hari ia kembali, dan masuk ke kamar Tyndale lalu meminta kepadanya untukmeminjamkan 40 shilling kepadanya, "Sebab aku telah kehilangan dompet pagi ini dalam perjalanan dari Mechelen," katanya. Jadi, Master Tyndale memberikan kepadanya 40 shilling, yang mudah didapatkan darinya jika ia memilikinya sebab ia orang yang mudah percaya, dan tidak berpengalaman dalam cara-cara dunia yang penuh tipu daya. Kemudian Philips berkata, "Master Tyndale, kamu akan menjadi tamuku saat makan malam nanti di sini hari ini."

Tyndale menjawab, "Tidak, aku akan pergi keluar untuk makan malam, dan kamu boleh ikut bersamaku dan menjadi tamuku."

Jadi, ketika saat makan malam tiba, mereka meninggalkan kamar Tyndale untuk pergi keluar. Di depan rumah Pointz ada jalan masuk yang sempit sehingga hanya bisa dilewati satu orang saja. Tyndale dengan sopan menawarkan kepada Philips untuk lewat lebih dahulu, tetapi Philips membuat gaya, dan mendesak agar Tyndale keluar lebih dahulu. Master Tyndale seorang yang pendek, dan Philips sedikit lebih tinggi, Ketika mereka sampai di pintu tempat Philips telah menempatkan para petugas sedemikian rupa sehingga mereka bisa melihat siapa yang keluar, ia menunjuk ke bawah ke arah Tyndale dari belakangnya untuk memberi tahu para petugas bahwa ialah orang yang harus mereka tangkap. Setelah mereka memasukkan Tyndale ke dalam penjara, para petugas memberi tahu Thomas Pointz bahwa mereka merasa menyesal ketika mereka melihat bahwa ia seorang yang sederhana, dan mudah percaya.

Setelah penangkapan Tyndale,jenderal-prokurator, dan beberapa petugas pergi ke ruang Tyndale, dan mengambil segala harta miliknya, termasuk semua tulisan, dan bukunya. Kemudian mereka membawa Tyndale ke puri Vilvorde, yang jaraknya 29 km dari Antwerpen.
Di penjara, Tyndale ditawari jabatan prokurator[2] untuk mewakilinya, dan advokator untuk berbicara baginya, tetapi kedua posisi itu ditolaknya seraya mengatakan bahwa ia akan berbicara bagi dirinya sendiri. Selama pemenjaraannya, Tyndale menyampaikan khotbah begitu banyak, dan bagus kepada sipir penjara, dan orang-orang yang datang untuk mengenalnya sehingga mereka melaporkan bahwa jika Tyndale bukan seorang Kristen yang baik mereka tidak memiliki cara untuk mengetahui siapa orang Kristen lain yang baik.

Meskipun Tyndale menjawab pertanyaan para penyidik Inkuisisi dengan benar, dan dengan penggunaan penalaran yang baik, tidak ada alasan yang cukup baginya untuk menyelamatkan dirinya dari kebencian, dan tekad mereka untuk menghancurkannya, dan pekerjaannya. Meskipun ia tidak layak dihukum mati, ia dihukum dengan alasan keputusan yang dibuat oleh Kaisar Romawi yang Kudus Charles V pada Diet of Augsburg pada 1530 ketika Kaisar, dan Gereja Roma menolak posisi Protestan yang dipaparkan kepada sidang.

Pad a tanggal 6 Oktober 1536, di kota Vilvorde di Belanda, William Tyndale, penerjemah Allah pertama yang menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris, dibawa ke tempat eksekusi, diikat di tiang, dicekik oleh pelaksana hukuman gantung sampai mati kemudian dibakar karena melakukan pekerjaan Allah. Ketika ia bertemu Tuhan, Tyndale berseru dengan suara yang keras, "Tuhan! Buka mata raja Inggris!"

Image
Kematian Willian Tyndale.
Doktrin, dan kesalehan hidup Tyndale begitu kuat sehingga selama satu setengah tahun pemenjaraannya, dikatakan bahwa ia telah mempertobatkan sipir penjara, dan anak perempuannya, dan beberapa anggota keluarganya yang lain.

Mengenai terjemahan Perjanjian Barunya karena musuh-musuhnya menemukan begitu banyak kesalahan dengan cara yang saling bertentangan dan menyatakan terjemahan itu penuh dengan kesalahan, William Tyndale menulis surat dari penjara kepada temannya, John Frith, ''Aku memanggil Allah untuk mencatat pada hari saat kita akan muncul di hadapan Tuhan Yesus, bahwa aku tidak pernah mengubah satu pun suku kata firman Allah bertentangan dengan hati nuraniku; juga aku tidak akan melakukannya hari ini jika semua yang ada di bumi, entah itu kehormatan, kesenangan, atau kekayaan diberikan kepadaku."

John Frith :

Setelah menyebutkan John Frith dalam kisah kita ten tang pekerjaan dan kemartiran John Tyndale, kita akan membicarakan beberapa hal tentangnya di sini.

Master Frith adalah orang muda yang terkenal karena kesalehan, kecerdasan, dan pengetahuannya. Dalam dunia sekuler ia bisa mencapai pre stasi yang tinggi sesuai keinginannya, tetapi ia justru memilih untuk melayani gereja dan bekerja untuk kepentingan orang lain dan bukan untuk dirinya sendiri. Ia belajar di Cambridge dan di sana berkenalan dengan William Tyndale, yang menanamkan akar yang dalam ten tang Injil yang sejati dan kesalehan yang tulus dalam dirinya.

Sekitar saat itu, Thomas Wolsey, kardinal York, membangun sekolah baru di Oxford. Wolsey diangkat menjadi wakil paus, agen langsung paus, bagi Inggris pada 1518, dan ini membuatnya menjadi imam yang paling berkuasa di Inggris. Ia juga seorang yang ambisius dan tamak, yang melakukan pekerjaan gereja hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Ia membiayai pembangunan sekolah barunya dengan me nutup sejumlah biara dan menggunakan uang yang dianggarkan untuk biara itu; ia juga membangun istana untuk dirinya sendiri di Hampton Court di sisi kiri Sungai Thames, tepat 22,5 km di sebelah atas pus at kota London. Dari 1513 sampai 1529 ia menjadi penasihat utama Henry VIII, tetapi ia kehilangan perkenan raja ketika ia gagal mendapatkan persetujuan Paus atas perceraian Henry dengan Catherine dari Aragon.

Untuk sekolah barunya, Wolsey mengumpulkan perabot yang terbaik dari institusi gereja di se1uruh Inggris dan mendapatkan profesor yang terbaik yang tersedia. Di antara mereka terdapat John Frith. Pertama-tama Wolsey sangat senang dengan para profesornya dan tingkat pendidikan yang mereka hasilkan untuk sekolahnya, tetapi kemudian ia mengetahui bahwa banyak di antara mereka mengadakan pertemuan untuk membahas penyelewengan Gereja Roma, jadi ia menyuruh mereka ditangkap dengan tuduhan bidat dan dipenjarakan. Secara alamiah, John Frith termasuk di dalamnya.

Tidak lama sete1ah penangkapannya, Frith dilepaskan dari penjara dengan syarat bahwa ia tinggal dalam jarak 16 km dari Oxford. Namun, daripada tinggal di sekitar penjara, Frith segera meninggalkan Inggris, lalu pergi ke Eropa. Ia pergi ke Jerman dan bertemu dengan William Tyndale dan tokoh lainnya yang juga telah meninggalkan Inggris untuk melepaskan diri dari eksekusi. Ia tinggal jauh dari Inggris selama dua tahun kemudian dengan diam-diam masuk kembali ke negara itu.

Dengan menggunakan baju yang jelek sebagai penyamaran, Frith pergi ke Reading, tepat di sebe1ah barat London untuk menemui kepala biara. Namun, di Reading ia ditangkap sebagai pengembara - seorang tuna wisma - dan dimasukkan ke penjara khusus sampai ia bisa dikenali. Tahanan semacam itu jarang diberi makan dan ketika Frith jatuh sakit karena kelaparan, ia memohon untuk bertemu dengan kepala sekolah lokal, Leonard Cox.

Ketika Cox tiba, Frith berbicara kepadanya dalam bahasa Latin dan mengeluh tentang pengurungannya. Mereka juga berbicara satu dengan yang lain dalam bahasa Latin. Ketika mereka selesai, Cox pergi ke petugas Reading dan memberi tahu mereka bahwa seorang mud a yang berpendidikan tinggi dan sangat berbakat seharusnya tidak dimasukkan ke penjara semacam itu. Frith segera dilepaskan. Namun, kebebasannya hanya berlangsung singkat karena Sir Thomas More, yang pada saat itu menjadi duta Inggris, telah menawarkan hadiah untuk penangkapannya dan telah mencari-carinya di seluruh Inggris. Frith terus-menerus menyamar dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi ia akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Menara London.

[Ironisnya, pada 1534, Thomas More, yang bertanggung jawab atas penangkapan dan pembakaran banyak orang dengan tuduhan bidat, dipenjarakan di Menara London yang sama karena menolak untuk mengakui Raja Henry VIII sebagai kepala Gereja Inggris yang tertinggi. More dianggap bersalah karena pengkhianatan dan dipenggal kepalanya pada tanggal 6 juli 1535. Pada 1535 Gereja Roma menyatakan More sebagai orang kudus dan menjadikannya orang kudus.]

Setelah beberapa saat, Frith muncul di depan Uskup Agung Canterbury kemudian Uskup Winchester, untuk memberikan pembelaan terhadap tuduhan sebagai bidat. Ia juga muncul di depan sidang uskup London. Ia diperiksa dalam dua masalah kesesatan: api penyucian, substansi roti, dan anggur komuni. Tidak secara kebetulan, ia dan Thomas More telah berhubungan selama beberapa kali sementara ia ada di penjara, dan membahas hal-hal yang sarna ini dalam surat-surat mereka.

Selama pemeriksaannya di depan Uskup, Frith menyatakan bahwa ia tidak bisa menyetujui mereka dalam masalah artikel iman yang harus ia percayai, apa pun risiko hukumannya, yaitu ketika imam berdoa selama kebaktian, substansi roti, dan anggur diubah menjadi tubuh dan darah juruselamat kita Yesus Kristus secara aktual meskipun penampilannya tetap sarna. Dan meskipun itu memang sedemikian meskipun itu tidak ia percaya, itu seharusnya tidak merupakan artikel iman. Namun, seperti biasanya dalam tuduhan kebidatan di depan Inkuisisi, tidak ada pembelaan yang masuk akal yang bisa mengubah keputusan hukuman yang sudah diputuskan sebelumnya.

Demikianlah John Frith dibawa kembali ke depan para uskup pada tanggal 20 Juni 1533; dan di sana dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar. Pada tanggal 4 Juli ia dibawa ke tempat eksekusi, tempat upacara yang khidmat, sermo generalis, pertama diadakan kemudian kayu bakar dinyalakan di sekeliling dirinya dan beberapa orang lain yang juga dibakar dengan tuduhan bidat. Andrew Hewet dibakar di sebelah Frith dan angin yang kuat pada hari itu bertiup dari tiang Frith menuju Hewet sehingga api tersebut membakar Hewet lebih cepat dan membuat Frith terbakar lebih perlahan. Meskipun penderitaannya diperlama, Frith tampak bahagia sehingga memperpendek penderitaan temannya sesama martir.

Andrew Hewet :

Andrew Hewet adalah penjahit ahli berusia 24 tahun ketika ia menjadi martir bersama John Frith. Ketika ia sedang berjalan di Fleet Street pada hari suci, ke arah St. Dunstan's, ia kebetulan bertemu seorang pembohong yang terkenal, William Holt, yang setelah percakapan beberapa menit dengannya memutuskan bahwa Hewet percaya terhadap doktrin Reformasi. Holt segera melaporkan orang yang ia curigai itu kepada petugas yang mencari Hewet dan menemukan ia di toko buku laris yang ia datangi untuk membeli buku. Mereka menangkap Hewet dan memasukkannya ke penjara.

Pada saat pemeriksaan di depan Wakil Uskup London dan sidang uskup, Hewet dituduh tidak percaya bahwa roti komuni berubah menjadi tubuh Kristus secara aktual setelah imam Roma mendoakannya. Hewet setuju bahwa ia tidak memercayainya. Ketika ditanya apa yang ia percayai, Hewet menjawab, "Saya percaya seperti apa yang dipercayai John Frith."

Prosekutor bertanya sekali lagi, ''Apakah kamu percaya bahwa roti yang dikuduskan itu merupakan tubuh aktual Kristus, yang dilahirkan dari Perawan Maria?"

Hewet menjawab, "Tidak, aku tidak percaya."

Prosekutor ingin mengetahui mengapa ia tidak memercayainya. Hewet menjawab, "Yesus sendiri berkata, "Jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau: Lihat, Mesias ada di sana,jangan kamu percaya. Sebab mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul."(Markus 13:21-22.)

Banyak Uskup yang tersenyum mengejeknya seolah-olah ia adalah anak yang bodoh kemudian Stokesley, Uskup London berkata, "Frith adalah bidat dan telah ditentukan untuk dihukum bakar. jika kamu tidak mencabut pendapatmu, kamu akan dibakar bersamanya."

Hewet menjawab, "Sesungguhnya, saya puas dengan itu."

Ia sekali lagi ditanya apakah ia mau mencabut pendapatnya atau tidak, tetapi Hewet berkata bahwa ia akan melakukan hal yang dilakukan Frith.

Jadi, ia dibawa ke tempat John Frith berada dan dibakar di tiang di sebelahnya.
-------
[1] Erasmus, Desiderius, (1446-1536) Sarjana Renaissance Belanda dan teolog Gereja Roma yang berusaha menghidupkan kembali teks-teks klasik zaman kuno, memulihkan iman Kristen yang sederhana dan didasarkan pada Alkitab, dan menghilangkan hal-hal yang tidak pantas dalam Gereja Roma abad pertengahan. Karyanya mencakup The Manual of The Christiab Knight, yang diterbitkan pada 1503, dan The Praise of Folly yang diterbitkan pada 1509.
[2] Prokurator, Orang yg diberi hak untuk mengelola masalah orang lain, agen pegawai kekaisaran Romawi dalam amsalah sipil; terutama dalam bidang finansial dan pajak, dalam mengelola negara-negara bagian kekaisaran dan harta miliknya dan dalam mengatur provinsi kecil.

Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
Online Version : http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Atau di http://www.the-tribulation-network.com/ ... rs_toc.htm

Pahlawan-Pahlawan Iman Tuhan Yesus Kristus (10)

Penganiayaan di Inggris (1401-1541)

Selama pemerintahan Raja Edward III (1327-1377), gereja di Inggris mengalami kemunduran karena campur tangan manusia mengalahkan kuasa Roh Kudus. Cahaya Injil Kristus yang sejati dengan jelas telah dipadamkan oleh kegelapan doktrin manusia, upacara yang membebani, dan berbagai ritual. Pada saat yang sama, para pengikut Wyclijfe, para pembaru yang disebut Lollard, telah menjadi sangat banyak sehingga para imam merasa terganggu; dan meskipun para imam menganiaya mereka dengan cara yang licik, para imam itu tidak berkuasa untuk membunuh mereka.


Setelah perebutan kekuasaan di takhta Inggris oleh Henry IV pada 1399, kaum Lollard mengalami penganiayaan yang makin meningkat. Segera sesudah itu, para pejabat gereja membujuk raja untuk memperkenalkan rancangan undang-undang ke parlemen untuk mengutuk Lollard yang masih bersikeras pada keyakinan mereka yang baru dan menyerahkan mereka kepada penguasa sekuler untuk dibakar sebagai bidat. Meskipun mendapat perlawanan yang kuat dari Lollard di DPR, undang-undang De haeretico comburendo (Tentang Pembakaran Bidat) dikeluarkan Parle men pada 1401, dan segera dijalankan. Undang-undang yang disahkan untuk membakar orang-orang karena keyakinan keagamaan mereka dijalankan untuk pertama kalinya di Inggris.

Martir pertama yang mati di bawah undang-undang baru ini adalah imam bernama William Santree [atau Santee] - ia dibakar di "Smithfield.

Segera setelah itu, Uskup Agung Canterbury, Thomas Arundel, dan uskup-uskupnya mulai bergerak menentang Sir John Oldcastle (Lord Cobham), pengikut Wycliffe yang popular dan ternan pribadi Henry IV, yang mereka tuduh mengutus orang-orang lain yang tidak diberi hak oleh para uskup untuk berkhotbah dan mendukung ajaran sesat menentang sakramen gereja, patung, perjalanan ziarah, dan paus. Namun, sebelum bisa menuduh orang itu, mereka tahu mereka harus mendapatkan bantuan raja. Raja mendengarkan mereka dengan sopan kemudian menyuruh mereka berurusan dengan Sir John dengan hormat dan memulihkan posisinya di gereja melalui kelembutan. Ia juga menawarkan untuk perdebatan dengan Sir John demi mereka. Segera setelah itu, ia mengutus orang kepada Sir John dan mengingatkannya untuk kembali ke induk gereja kudus, dan seperti anak taat, mengakui bahwa ia pantas mendapat hukuman karena ia telah bersalah.

Sir John menjawab:
Raja yang paling layak, engkau tahu saya selalu siap dan bersedia taat karena saya tahu engkau adalah raja Kristen dan hamba Allah yang diurapi serta engkau memanggul pedang untuk menghukum orang yang berbuat jahat dan melindungi orang yang benar. Di sebe1ah Allah yang kekal, saya berutang ketaatan kepadamu, dan saya siap, seperti yang sudah-sudah agar menyerahkan semua yang saya miliki baik uang maupun harta benda untuk melakukan hal yang engkau perintahkan kepada saya dalam Tuhan. Namun, mengenai pemimpin Gereja Roma dan pejabat gerejanya, saya tidak berutang kehadiran maupun pelayanan kepada mereka karena saya tahu me1alui Alkitab bahwa ia adalah antikris, anak kebinasaan, musuh Allah seeara terbuka dan musuh yang berdiri di tempat yang kudus yang dibicarakan Daniel.

Ketika raja mendengar ini, ia tidak memberi jawaban dan meninggalkan ruangan.

Uskup Agung sekali lagi mendekati raja berkenaan dengan Sir John, lalu ia diberi kuasa untuk menuduhnya, memeriksanya, dan menghukumnya sesuai dengan keputusan mereka yang jahat: Hukum Gereja yang Kudus. Namun, ketika Sir John tidak muncul di depan mereka sesuai permintaan mereka, Uskup Agung mengutuknya karena penolakannya yang merendahkan terhadap otoritas. Kemudian ketika diberi tahu bahwa Sir John mengejeknya, menghina segala sesuatu yang ia kerjakan; mempertahankan pendapatnya yang sama; memandang kekuasaan gereja, keagungan uskup dan ordo keimaman dengan muak; ia marah secara terbuka dan mengucilkannya.

Sebagai balasan, Sir John Oldcastle menulis pengakuan iman secara pribadi dan membawanya kepada temannya, Henry IV, yang ia harapkan akan menerimanya dengan gembira. Namun sebaliknya, raja menolaknya dan memerintahkan agar hal itu diberikan kepada Uskup Agung dan sidang uskup yang akan menghakiminya. Ketika Sir John tampil di depan sidang dan di hadapan raja, ia meminta agar seratus ksatria dikumpulkan untuk mendengarkan kasusnya dan menilai ia sebab ia tahu bahwa mereka akan membersihkannya dari semua kebidatan. Untuk membersihkan dirinya sendiri, ia bahkan menawarkan untuk berperang sampai mati melawan orang yang tidak setuju dengan imannya, sesuai dengan Hukum Kekuasaan. Akhirnya, ia dengan lembut menyatakan bahwa ia tidak akan menolak koreksi apa pun yang sesuai dengan firm an Allah, tetapi akan menaatinya dengan lemah lembut. Ketika ia selesai, raja membawanya ke ruangan pribadinya, dan saat itulah Sir John pertama kali memberi tahu raja bahwa ia telah mcmahon kepada Paus kemudian menunjukkan kepadanya hal yang telah ia tulis. Raja dengan marah memerintahkan ia untuk menunggu keputusan Paus, dan jika ia harus menyerah kepada Uskup Agung, Sir John hams melakukannya, dan ia jangan naik banding lagi. Semua itu ditolak Sir John, dan Raja memerintahkan agar ia ditangkap dan dipenjarakan di Menara London.

Oleh karena popularitas dan kehormatan Sir John Oldcastle yang besar, Uskup Agung memproses pengadilannya dengan lambat selama beberapa minggu dari September sampai Desember, tetapi hukumannya telah diputuskan terlebih dahulu, dan kutukan atas kebidatan John serta hukuman mati yang akan ia jalani dengan cara digantung dan dibakar tidak mengejutkan seorang pun.

Dalam pembelaannya, Sir John menulis ini:

Tentang patung, saya tahu bahwa patung bukanlah masalah iman, tetapi dimaksudkan demikian karena iman kepada Kristus ditolerir oleh gereja untuk mewakili dan memunculkan dalam pikiran penderitaan Tuhan kita Yesus Kristus serta kemartiran dan kehidupan orang kudus lain yang baik. Namun, siapa pun yang memberikan penyembahan yang seharusnya diberikan kepada Allah kepada patung yang mati, atau meletakkan harapan, dan kepercayaan untuk mendapatkan pertolongan darinya seperti yang seharusnya ia lakukan kepada Allah semata, atau memiliki rasa cinta yang lebih besar kepada mereka daripada kepada Allah, ia melakukan dosa.

Selain itu, saya tahu sepenuhnya, bahwa setiap orang di bumi ini adalah peziarah menuju kebahagiaan atau penderitaan, dan orang yang tidak tahu perintah Allah yang kudus, dan melakukannya dalam hidupnya di sini meskipun ia mungkin menjalani ziarah ke seluruh dunia dan mati ketika melakukannya, ia akan dihukum; tetapi orang yang tahu perintah Allah yang kudus dan melakukannya; ia akan diselamatkan meskipun ia dalam hidupnya tidak pernah me1akukan ziarah, seperti dilakukan orang-orang sekarang, ke Canterbury, atau ke Roma, atau ke tempat lainnya.


Pada hari yang ditentukan untuk eksekusinya, Sir John Oldcastle dibawa keluar dari Menara London dengan tangan diikat di be1akang tubuhnya. Ia tersenyum dengan gembira kepada orang-orang di sekitarnya. Kemudian ia dibaringkan di atas api seolah-olah ia adalah pengkhianat kerajaan yang mengerikan dan diseret ke lapangan St. Gile. Ketika mereka tiba di tempat hukumannya dan ikatannya dilepaskan, Sir John berlutut dan memohon kepada Allah agar mengampuni musuh-musuhnya. Kemudian ia berdiri dan menasihati orang-orang yang datang ke sana untuk menaati hukum Allah yang tertulis dalam Alkitab dan untuk berhati-hati terhadap guru-guru yang kata-kata dan hidupnya bertentangan dengan Kristus. Kemudian perutnya diikatkan erat dengan rantai dan ia diangkat ke udara dan api mulai dinyalakan di bawahnya. Ketika api mulai menjilatnya, ia memuji Allah sampai ia tidak bisa memuji Dia lagi. Orang banyak yang menyaksikan ia mencucurkan air mata dan berduka-cita sebab orang yang baik dan saleh itu telah mati. Hal itu terjadi pada 1417.

Image

Pad a Agustus 1473, Thomas Granter ditangkap di London dan dituduh menyatakan secara terbuka bahwa ia percaya terhadap ajaran Wycliffe, yang menyebabkan ia dikutuk sebagai bidat yang bandel. Pada hari eksekusi, Thomas dibawa ke rumah sheriff dan ia diberi makanan. Sambil makan, ia berkata kepada orang-orang di sana, "Saya sekarang makan makanan yang enak sebab saya harus menghadapi konflik yang aneh sebelum saya makan lagi." Ketika ia selesai makan, ia mengucap syukur kepada Allah atas kelimpahan pemeliharaan-Nya yang ajaib kemudian meminta agar ia segera dibawa ke tempat eksekusi sehingga ia bisa memberikan kesaksian tentang kebenaran prinsip-prinsip yang telah ia nyatakan. Kemudian ia dibawa ke bukit Menara dan dirantai di tiang. Di sana ia dibakar hidup-hidup dengan masih memberitakan kebenaran sampai napas terakhirnya.

Pada 1499 di Norwich, di timur laut London, seorang yang saleh bernama Badram dituduh oleh beberapa imam bahwa ia berpegang pada doktrin Wycliffe dan dibawa ke depan Uskup Norwich. Badram mengaku bahwa ia memercayai segala sesuatu yang mereka katakan. Ia dikutuk sebagai bidat yang bandel, surat perintah untuk eksekusi diberikan kepadanya dan ia dibakar di tiang, tempat ia menanggung penderitaannya dengan kesetiaan yang besar.

Pada 1506, seorang yang saleh bernama William Tilfrey dibakar hidup-hidup di Amersham, di wilayah yang tertutup yang disebut Stoneyprat. Pelaksana hukumannya memaksa anak perempuannya yang sudah menikah,Joan Clarke, untuk menyalakan api di sekeliling ayahnya dan melihat ia terbakar. Pada tahun yang sarna, Uskup Lincoln di Inggris Timur mengutuk imam bernama Father Roberts karena menjadi pengikut Lollard dan membakarnya hidup-hidup di Buckingham.

Pada tahun 1507, Thomas Norris, seorang laki-laki sederhana yang miskin dan tidak berbahaya, bercakap-cakap dengan imam di gerejanya tentang beberapa pertanyaan yang mengusiknya ten tang agama. Selama percakapan, imam memutuskan dari pertanyaan yang diajukan oleh Thomas bahwa ia adalah pengikut Lollard dan melaporkannya kepada Uskup. Thomas ditangkap, dikutuk, dan dibakar hidup-hidup,

Pada 1508 di Salisbury di Inggris selatan, Lawrence Guale dipenjarakan selama dua tahun kemudian dibakar hidup-hidup karena menyangkal bahwa roti dan anggur pada saat kebaktian berubah menjadi tubuh dan darah Yesus yang nyata ketika imam berdoa atasnya. Tampaknya Lawrence memiliki toko di Salisbury, dan suatu hari menjamu beberapa pengikut Lollard di rumahnya. Seseorang melaporkannya kepada Uskup dan Lawrence ditangkap lalu "diperiksa;" ia berpaut pada kepercayaannya dan dikutuk sebagai bidat.

Pada tahun yang sama di Chippen Sudburne, seorang perempuan yang saleh dibakar hidup-hidup di tiang oleh rektor yang bernama Dr. Whittenham, yang memeriksanya sebagai bidat dan mengutuknya. Ketika para pelaksana hukumannya dan yang lain meninggalkan tempat ia dibakar, seekor sapi jantan terlepas dari rumah penjual daging dan menanduk tubuh Dr. Whittenham. Sapi jantan itu membawa usus Whittenham di sekeliling tanduknya untuk beberapa saat, tetapi tidak berbuat apa-apa pada orang-orang lain di kerumunan orang banyak itu.

Pada 18 Oktober 1511, William Succling dan John Bannister, dibakar hidup-hidup di Smithfiled. Mereka sebelumnya telah menyangkal iman mereka kepada Kristus, tetapi kembali lagi pada pengakuan iman yang sejati.

Selama pemerintahan Henry VII (1485-1509), John Brown menyangkal kesaksiannya tentang Kristus karena takut disiksa dan sebagai hukuman ia harus membawa kayu api ke sekeliling Katedral St. Paul di London. Pada 1517, ia kembali pada pengakuan imannya kepada Kristus dan dikutuk oleh Uskup Agung Canterbury, Dr. Wonhaman dan dibakar hidup-hidup. Sebelum merantainya di tiang, Dr. Wonhaman dan Yester, Uskup Rochester, berusaha membuatnya menyangkal kembali dengan membakar kakinya dengan api sampai dagingnya terlepas dan terlihat tulang-tulangnya. Namun, kali ini John Brown berpaut pada kebenaran dalam penderitaannya dan mati dengan penuh kemuliaan bagi Kristus dan kebenaran firm an Allah.

Pada 25 Oktober 1518, John Stilincen ditangkap, dibawa ke depan Uskup London, Richard Fitz-James, dan menghukum ia sebagai bidat. John sebelumnya pernah menyangkal imannya kepada Kristus karena takut disiksa, tetapi ketika ia dirantai di tiang di Smithfield di depan kerumunan orang banyak, ia menyatakan bahwa ia adalah pengikut ajaran Wycliffe; dan meskipun ia sebelumnya sudah menjadi lemah dan menyangkal imannya, sekarang ia siap untuk mati demi kebenaran firman Allah.

Pada 1519 Robert Celin dan Thomas Matthew dibakar di London. Robert telah berbicara menentang ritual gereja dan ziarah.

Pada 1532, Thomas Harding dan istrinya dituduh bidat karena mereka menyangkal bahwa roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus yang aktual ketika imam berdoa atasnya pada saat kebaktian. Untuk itu, Uskup Lincoln, di Inggris Timur, menghukum mereka dengan cara dibakar hidup-hidup di tiang. Mereka dibawa ke Cresham di Pell dekat Botely dan dirantai di tiang. Kayu api ditumpuk di sekeliling mereka dan dinyalakan. Ketika api berkobar, satu di antara pengamat Gereja Romayang marah memukul kepala Thomas dengan sepotong kayu api yang tebal begitu keras sehingga kepalanya terbelah terbuka dan otaknya terlempar ke dalam api. Imam-imam yang hadir pada saat pembakaran memberi tahu orang-orang bahwa siapa pun yang membawa kayu api untuk membakar bidat akan diberi surat pengampunan dosa yang akan mengizinkan mereka berbuat dosa selama 40 hari.

Menjelang akhir tahun itu, Worham, Uskup Agung Canterbury, menangkap seorang laki-laki bernama Hitten, yang adalah imam di Maidstone di Inggris tenggara. Hitten disiksa di penjara selama beberapa bulan dan sering diperiksa oleh Worham dan Uskup Rochester, Fisher, dalam usaha untuk membuatnya menyangkal kepercayaan 'reformed'nya. Oleh karena gagal, mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya, serta mengutuknya sebagai bidat, dan membakarnya hidup-hidup di depan gereja yang ia gembalakan sebagai peringatan bagi jemaat.

Orang sederhana, suami dan istri, imam jemaat, atau profesor di universitas tidak ada yang aman dari kemarahan pejabat gereja terhadap orang-orang yang menyangkal tradisi dan doktrin Paus. Thomas Bilney, profesor hukum di Universitas Cambridge, ditangkap sebagai bidat dan dibawa ke depan sidang uskup yang diadakan oleh Uskup London. Mereka mengancamnya berulang-ulang dengan siksaan dan hukuman bakar, dan menakut-nakutinya supaya ia menyangkal keyakinannya. Namun, segera setelah itu ia bertobat dengan dukacita yang mendalam. Dengan melakukannya, ia dibawa kembali ke depan sidang dan dihukum mati dengan cara dibakar sebagai "bidat yang keras kepala." Sebelum Bilney dibakar, ia menyatakan bahwa ia benar-benar percaya kepada pendapat Martin Luther. Ketika dirantai di tiang, ia tersenyum kepada semua orang yang ada di sana dan berkata, "Saya telah mengalami banyak badai dalam dunia ini, tetapi kapal saya akan segera mendarat di surga."Pada saat api berkobar di sekelilingnya ia berdiri tanpa bergerak dan berseru, "Yesus, aku percaya!" Kemudian ia pergi bertemu Dia yang ia percayai.

Meskipun para pejabat gereja bersikap sangat kejam terhadap bidat, mereka terutama melakukannya terhadap orang-orang yang sebelumnya imam, tetapi kemudian menentang tradisi dan doktrin buatan manusia. Di Barnes, di Surrey di Inggris selatan, seorang rahib bernama Richard Byfield ber tobat pada iman yang sejati ketika membaca terjemahan bahasa Inggris Perjanjian Baru Tyndale. Akibatnya ia juga menjadi percaya sepenuhnya terhadap pendapat Martin Luther. Ketika hal ini diketahui, ia ditangkap dan dicap sebagai bidat dan dimasukkan ke dalam penjara. Oleh karena ia adalah klerik[1] Roma yang bertobat, ia disiksa tanpa belas kasihan oleh para penuduhnya. Untuk membuatnya menyangkal imannya, ia sering dikurung dalam ruangan bawah tanah yang paling buruk di penjara, sebuah temp at yang membuat ia hampir tercekik karena bau busuk kotoran manusia dan air menggenang yang hampir menutupi lantai yang kotor itu. Tikus dan kecoak adalah satu-satunya temannya. Kadang-kadang sipir penjara masuk ke dalam selnya dan mengikat tangannya di belakang punggungnya sampai pundaknya hampir terlepas dan meninggalkannya dalam posisi seperti itu selama berhari-hari tanpa makanan atau buang kotoran. Pada waktu lainnya mereka membawanya ke tempat pencambukan dan mencambuknya sampai hanya tersisa sedikit daging di punggungnya. Namun, ia masih tetap menolak untuk menyangkal iman kepada Kristus yang baru saja ia temukan. Jadi, ia dibawa ke Menara Lollard di Lambeth Palace, tempat Uskup Agung memerintahkan ia untuk dirantai lehernya di dinding dan dipukuli dengan kejam sehari sekali oleh pelayan-pelayannya. Akhirnya, sebagai tindakan belas kasihan, ia dikutuk, direndahkan seperti yang dialami Huss, dan dibakar di Smithfield, yang berada di utara Katedral St. Paul di London.

Pada tahun yang hampir sama, sekitar 1535, John Tewkesbury ditangkap karena membawa terjemahan bahasa Inggris Perjanjian Baru Tyndale dan karena itu melakukan pelanggaran terhadap "Induk gereja yang kudus." Ketika diperhadapkan pada ancaman penyiksaan dan pembakaran, ia pertama-tama berkata bahwa ia tidak percaya apa pun yang telah ia baca yang bertentangan dengan doktrin Gereja Roma, tetapi kemudian ia bertobat dan mengaku bahwa ia percaya Alkitab yang sudah diterjemahkan itu benar dan doktrin Paus salah. Untuk itu, ia segera dibawa ke depan Uskup London dan dihukum sebagai "bidat yang bandel." Selama ia dipenjara sebelum dieksekusi, ia disiksa begitu kejam sehingga ia sudah sekarat ketika mereka membawanya ke tiang di Smithfield. Di sana ia menyatakan dengan suara keras kejijikannya yang sepenuhnya pada doktrin Paus serta menyatakan keyakinannya yang kuat bahwa yang ia lakukan benar dalam pemandangan Allah.

Pada 1536 di Bradford-in-Wiltshire di Inggris tengah selatan, seorang dari desa yang tidak berbahaya, yang bernama Traxnal dibakar hidup-hidup karena ia tidak mau mengakui bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus selama kebaktian, dan tidak setuju bahwa Paus memiliki kekuasaan tertinggi atas hati nurani laki-laki dan perempuan.

Suatu ketika pada tahun 1538, Nicholas Peke dibakar sebagai bidat di Norwich di Inggris timur karena alasan yang sama seperti ketika Traxnal dihukum. Tiga pejabat Gereja Roma, Dr. Reading, Dr. Hearne, dan Dr. Spragwell memimpin acara pembakarannya. Ketika Nicholas sudah terbakar hangus sampai kulitnya berubah menjadi hitam seperti asp al, Dr. Spragwell memukulnya pada bahu kanannya dengan tongkat putih yang panjang dan berkata kepadanya, "Peke, sangkallah imanmu dan percayalah pada sakramen." Peke menjawab, "Aku memandang rendah permintaanmu dan juga kamu." Kemudian ia membungkuk, bersandar pada rantainya, dan meludahkan darah ke Dr. Spagwell yang menunjukkan sikap kejijikan dan penderitaannya. Kemudian Dr. Reading memberi tahu Nicholas bahwa ia akan memberikan surat pengampunan dosa selama 40 hari kepadanya jika ia mau menarik kembali pendapatnya, tetapi Nicholas tidak memerhatikan kebodohan Reading dan bersukacita bahwa Kristus telah memandangnya layak untuk menderita demi namaNya.

Orang lain yang dibakar selama pemerintahan Henry VIII adalah rahib tua bernama William Letton di desa Suffolk di Inggris timur. William telah berbicara menentang patung-patung yang dibawa dalam kebaktian gereja.

Pada tanggal 28 Juli 1540, Thomas Cromwell yang terkenal, Earl of Essex, dan politikus yang terkenal yang mengusulkan ROO (Hukum Supremasi) bahwa pada 1534 Raja Henry VIII menyatakan dirinya sendiri sebagai kepala gereja yang tertinggi, dieksekusi dengan dipenggal kepalanya. Kejatuhannya terjadi dengan cara demikian.

Cromwell telah mendorong raja untuk menikahi Anna dari Cleves untuk men dapatkan persekutuan dengan saudaranya, pemimpin Protestan di jerrnan timur. Henry dari awal membenci istrinya yang keempat dan persekutuan dengan Protestan merupakan hal yang tidak ia sukai karena ia ingin memelihara prinsip-prinsip iman Gereja Roma. Meskipun Cromwell dijadikan Earl of Essex dan Lord Chamberlain[2] yang agung pada April 1540, musuh-musuhnya membujuk Henry pada bulan Juni bahwa Cromwell adalah pengkhianat, baik terhadap agamanya maupun raja. Ia ditangkap pada 10 Juni, dihukum tanpa didengar pendapatnya dan dipenggal kepalanya pada 28 Juli 1540. Sebelum ia dipenggal, ia diperlakukan dengan kejam. Kemudian ia menyampaikan pidato yang pendek kepada orang-orang dan menyerahkan dirinya, dengan rendah hati, untuk dikapak.

Meskipun tuduhan terhadap Thomas Cromwell tidak berkaitan dengan agama, bangsawan ini bisa ditempatkan sebagai martir sebab bukan karena semangatnya untuk melepaskan Inggris dari Gereja Roma, agar ia mendapat perkenan raja. Ia melakukan lebih banyak hal untuk reformasi di Inggris daripada orang lain, kecuali Dr. Thomas Cranmer, terutama untuk itu ia membuat marah pendukung Paus, dan mereka merencanakan menentangnya dan mendatangkan kehancuran padanya.

Sekitar saat itu, Dr. Robert [atau Cutbert] Barnes,Thomas Gamet, dan William Jerome dibawa ke depan sidang uskup London dan dituduh sebagai bidat. Tiga orang itu dijatuhi hukuman bakar dan dipenjara di Menara London. Tidak lama se sudahnya, tanggal 30 Juli 1540, mereka dibawa ke Smithfield dan dirantai bersama-sama pada satu tiang. Dr. Barnes ditanya, entah di pengadilan oleh Uskup atau di tiang oleh Sheriff London sebab laporannya berbeda, apakah orang-orang kudus yang sudah meninggal berdoa bagi kita, Barnes menjawab, seperti dilaporkan, kepada Sheriff, "Di seluruh Alkitab kita tidak pernah diperintahkan untuk berdoa kepada orang kudus mana pun. Oleh karena itu saya tidak dapat berkhotbah kepadamu bahwa orang-orang kudus harus berdoa kepada mereka sebab jika begitu saya akan berkhotbah kepadamu doktrin dari kepala saya sendiri.Jika orang-orang kudus berdoa untuk kita, saya berharap untuk berdoa bagimu dalam waktu setengah jam ini." Pada saat nyala api berkobar di sekeliling ketiga martir itu, mereka saling menguatkan satu dengan yang lain dengan keberanian yang tak tergoyahkan yang hanya bisa muncul dari iman yang sejati kepada Yesus Kristus.

Tidak lama setelah itu, seorang pedagang bernama Thomas Sommers dan tiga orang laki-laki lain ditangkap karena membaca beberapa buku Martin Luther. Hukuman untuk mereka adalah membawa buku-buku itu untuk dibakar di pusat pasar di Cheapside[3] dan di sana melemparkan buku-buku itu ke dalam api. Ketiga laki-laki lain itu melemparkan buku mereka ke api, tetapi Thomas melemparkan buku-bukunya melewati api itu sehingga buku-buku itu tidak terbakar. Untuk itu ia dikirimkan kembali ke Menara London tempat ia dilempari batu sampai mati.

Selama waktu itu, Dr. Longland, Uskup Lincoln di lnggris Timur, menjadi sangat marah terhadap kebidatan sehingga ia membakar Thomas Bainard di tiang hanya karena ia mengucapkan Doa Bapa Kami dalam bahasa lnggris, dan James Moreton karena membawa surat Yakobus dalam bahasa lnggris. Ia kemudian mengirim seorang imam, Anthony Parsons, seorang laki-laki bernama Eastwood, dan orang lain, ke Windsor di lnggris tengah selatan untuk diperiksa oleh Uskup Salisbury, yang kekejamannya hanya dilampaui Bonner sebagai pe1aksana hukuman. Uskup tidak memboroskan waktu dalam pemeriksaan mereka dan menghukum ketiga orang itu dengan cara dibakar.

Ketika mereka dirantai di tiang, Parsons meminta air minum dan ketika ia menerima air itu, ia mengangkat cawan itu kepada kedua temannya dan berkata, "Bersukacitalah saudaraku dan angkat hatimu kepada Allah sebab setelah sarapan yang tergesa-gesa ini kita akan mendapat makan malam yang menyenangkan dalam kerajaan Kristus Tuhan dan Penebus kita." Ketika Eastwood mendengar kata-kata Parsons, ia mengangkat matanya ke surga dan memohon kepada Tuhan untuk menerima rohnya segera.

Pelaksana hukuman telah menumpuk kayu api dan jerami di sekeliling tiang, dan Parsons menarik jerami ke dekatnya, memegangnya ke dekat dadanya, dan berkata kepada orang-orang yang berkumpul untuk melihat pembakaran itu, "lni adalah senjata Allah dan sekarang saya sebagai prajurit Kristus mempersiapkan diri untuk peperangan. Saya tidak mencari belas kasihan, melainkan anugerah Kristus. Dialah satu-satunya Juruse1amat saya, dan saya memercayakan kese1amatan saya kepada-Nya." Kemudian api dinyalakan dan tubuh mereka terbakar, tetapi tidak ada apa pun yang bisa merusak jiwa mereka yang berharga dan tidak binasa. Kesetiaan mereka menang atas kekejaman, dan penderitaan mereka menjaga nama mereka tetap ada dalam hati orang-orang yang mengasihi para martir.

Jadi, para pengikut Kristus yang saleh di Inggris dianiaya dengan segala macam kekejaman dengan cara yang licik yang bisa dirancang manusia. Sebab di parlemen yang seharusnya memberikan perlindungan kepada warga negara Inggris yang baik, Raja Henry VIII telah membuat peraturan yang paling kejam dan menghujat Allah: "Siapa pun yang membawa Alkitab dalam 'pemahaman Wycliffe' [bahasa ibu, Inggris], akan kehilangan tanah, ternak, harta benda, tubuh, dan kehidupan dari diri mereka sendiri dan ahli waris mereka untuk selama-lamanya; dan ia dihukum sebagai bidat kepada Allah, musuh kerajaan dan pengkhian at total kepada Inggris." Itulah pahala manusia bagi orang percaya sejati kepada Kristus, tetapi pahala Tuhan bagi mereka adalah mahkota kebenaran untuk selama-lamanya.

[1] Klerik, Anggota Pendeta.
[2] Chamberlain, Petugas yang mengelola rumah-tangga orang yang berkuasa/ bangsawan; penatalayan utama – petugas tingkat tinggi di berbagai istana raja.
[3] Cheapside, sebuah jalan raya dan wilayah di kota London, Inggris. Tempat ini merupakan pasar pusat pada abad pertengahan di London, tempat mermaid Tavern, tempat pertemuan untuk penyair dan penulis drama Elizabethan.

Disalin dari :
John Foxe, Foxe's Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
Online Version : http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Atau di http://www.the-tribulation-network.com/ ... rs_toc.htm